Dalam pemaparannya, ia menyampaikan potensi radikal bisa meliputi semua agama, sekte, kelompok maupun individu manusia, baik yang berstatus sebagai ASN, TNI, Polri, dan seluruh elemen masyarakat.
Berdasarkan hasil riset Alvara Centre dan Mata Air Foundation sebanyak 23,4 persen mahasiswa setuju jihad untuk khilafah, sebanyak 18,1 persen pegawai swasta tidak setuju Pancasila, sebanyak 9,1 persen pegawai BUMN tidak setuju Pancasila, sebanyak 23,3 pelajar SMA setuju jihad untuk khilafah, dan 19,4 persen PNS tidak setuju Pancasila.
Birgjen. Pol. Akhmad Nurwakhid tidak menampik adanya kecenderungan perempuan yang rentan terpapar ideologi radikalisme. "Seseorang dapat terpapar radikalisme secara cepat itu relatif, tapi perempuan lebih cepat dan kecenderungannya lebih sulit untuk di deradikalisasi," tegasnya.
Hasil riset BNPT pada Februari lalu menyatakan sepanjang 2020 persentase perempuan yang terpapar paham radikalisme mencapai 12,3 persen sedangkan laki-laki 12,1 persen. Selain itu, kalangan urban, generasi Z dan milenial, serta aktif di internet juga berpotensi terpapar paham radikalisme dibandingkan yang lain.
Akhmad juga menuturkan setiap orang punya potensi untuk terpapar ekstremisme dan terorisme. Tidak terikat pada jenis kelamin, latar belakang, suku, agama, ras bahkan latar belakang pendidikan maupun kadar tingkat intelektualitas.Â
Namun, yang pasti ideologi yang radikal menjadi akar utamanya. Ia tidak sependapat dengan faktor ekonomi atau kemiskinan yang menyebabkan seseorang terpapar paham radikal terorisme.
"Logikanya, kalau faktor penyebab utamanya karena kemiskinan, mengapa kelompok masyarakat miskin banyak juga yang tidak terpapar paham radikal. Mereka lurus-lurus saja jalannya. Jadi, menurut saya, faktor utama karena pemahaman ideologi yang radikal," katanya.
Potensi radikal yang dimiliki seseorang dapat menjadi niat atau motif radikal yang mengarah pada aksi terorisme, dan ekstremisme ketika dipicu oleh beberapa faktor dan adanya momen. Misalnya, ada anggota keluarga yang memiliki paham radikalisme apalagi oleh ibu atau orang tua.Â
"Karenanya, ini harus kita jadikan musuh dan tanggung jawab bersama, sehingga kita harus bersatu bersama-sama di dalam pencegahan penanggulangan radikalisme dan terorisme," tutur Akhmad.
Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan Kemen PPPA, Valentina Gintings, yang juga menjadi pembicara mengatakan, isu perempuan masuk ke dalam terorisme dan ekstremisme bukan hal baru. Ada titik lemah perempuan yang  bisa disusupi para teroris, yang paham cara mempengaruhinya.Â
Valentina menuturkan perempuan dan anak dapat berada dalam 3 posisi pada pusaran terorisme -- sebagai kelompok rentan terpapar, korban, dan pelaku. Ada beberapa faktor penyebab perempuan rentan dilibatkan dalam aksi terorisme, yaitu karena faktor budaya patriarki, ekonomi, dan akses informasi.