Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Menjadi Korban Ghosting, Cepat Move On karena Berdamai dengan Diri Sendiri

9 Maret 2021   20:22 Diperbarui: 9 Maret 2021   22:11 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara soal ghosting yang sedang ramai dibicarakan itu, saya jadi teringat kisah masa silam saya. Puluhan tahun ke belakang. Yang entah, apakah itu termasuk ghosting? Sepertinya sih iya.

Dulu banget ketika saya masih ting ting, menjalin hubungan dengan lelaki yang usianya lebih tua 10 tahun dari saya. Saya berkenalan dengannya ketika saya magang di tempatnya bekerja, di kawasan Pinang Ranti, Jakarta Timur. Saya masih kuliah waktu itu.

Karena sering ditugaskan bersama, maka saya jadi sering berjumpa dengannya. Saya pun jadi lebih sering menghabiskan waktu dengannya di lapangan, di lokasi penugasan. Ya begitulah, lambat laun memunculkan rasa. Dia yang berasal dari daerah tempat saya lahir, semakin menambah kedekatan kami.

Kami pun akhirnya bersepakat menjalin hubungan yang lebih serius. Terlebih dia sendiri mengaku ingin mencari pendamping hidup mengingat usianya yang tak lagi muda. Siapa takut? 

Nah, sejak itu kami pun kerap menyiapkan waktu berdua setelah pekerjaan tuntas. Jalan-jalan berdua ke tempat wisata di hari libur atau makan bersama atau nonton atau cuma sekedar ngobrol-ngobrol saja.

Saya magang hanya 6 bulan, kebetulan saya diterima kerja di perusahaan lain, di kawasan Pulogadung, Jakarta Timur. Meski beda kantor, kami rutin berkomunikasi. Apalagi masih di wilayah yang sama, Jakarta Timur.

Selama 1 tahun hubungan terjalin pertemuan kami hanya seminggu sekali, terkadang dua minggu sekali. Apalagi kalau bukan karena kesibukan kami, khususnya dia. Meski demikian komunikasi tetap terjalin, lewat pager atau telepon ke kantornya atau dia telepon ke rumah saya.

Setelah 1,5 tahun menjalin hubungan, dia mulai hilang-hilangan tuh. Dia mengajak bertemu, ditunggu-tunggu sekian lama tidak menampakkan diri. Akhirnya saya pulang setelah telepon ke kantornya tidak ada. Janjian lagi untuk bertemu, nongol sih setelah berjam-jam saya menunggunya. Janjian lagi eh kumat lagi hilangnya.

Ketika saya tanya mengapa selalu menghilang jawabnya karena ketika mau bertemu saya, dia mendapat penugasan dari kantornya. Saya tidak bisa marah karena sebagai sesama pekerja lapangan saya bisa memahami ritme pekerjaan yang sebagian besar waktunya dihabiskan di lapangan daripada di kantor, yang terkadang penugasan diberikan secara mendadak.

Hingga suatu ketika sebulan terakhir itu saya mulai sulit menjangkaunya. Mulai bertanya-tanya ada apa gerangan. Setiap ditelepon ke kantor selalu dijawab tidak ada, SMS juga tidak ada jawaban. Seperti tiba-tiba menghilang begitu saja. Tidak ada angin, tidak ada hujan. Ya seperti hantu, meski saya sama sekali belum pernah melihat hantu.

Dan, di suatu hari saya mendapat informasi yang cukup mengejutkan dari teman sekantornya, yang juga kawan saya, ketika berjumpa dengannya dalam satu agenda yang sama.

"Wah, kasian dong loe ya ditinggal kawin si yayank," katanya sambil mulutnya mesem-mesem.

"Maksud loe?" tanya saya.

"Lha kan dia sebentar lagi mau nikah. Ya gue pikir loe udah tau," jawabnya.

What??? Terjawab sudah mengapa dia menghilang. Ternyata ini. Pergi meninggalkan saya begitu saja tanpa penjelasan. Saat saya mencoba untuk menghubunginya tidak ada kabar beritanya. Ini berarti termasuk perbuatan ghosting kan ya?

Ya ampun. Saya sih tidak masalah dia akhirnya menikah dengan siapa, tapi kan di antara saya dan dia belum ada kata putus. Statusnya masih ada ikatan cinta. Terakhir saya berkomunikasi dengannya seingat saya baik-baik saja. 

Seharusnya kan ya kalau memang dalam waktu dekat itu dia akan menikah dengan yang lain, dia memutuskan saya saat itu juga dong. Harusnya dia gentlemen memutuskan saya dengan baik-baik. Nyatanya tidak.

Setelah mendapat kabar itu, saya lantas meneleponnya untuk meminta penjelasannya. Apa yang salah dari saya sampai dia tega memperlakukan saya seperti itu. Dia menjawab saya tidak salah apa-apa. Dia yang salah, katanya. Dia tidak bisa mengelak perjodohan yang dilakukan pimpinannya dengan anak tetangganya.

"Ya kan bisa dijelasin kalau kakak punya aku. Tinggal bilang kakak sudah punya pasangan, yang sebentar lagi mau merencanakan pernikahan," kata saya.

"Iya, saya yang salah," ujarnya.

Ya sudahlah, mau dibilang apa lagi. Masa saya harus memaksanya untuk menikahi saya? Kecewa sih, tapi terus terang saya tidak merasa sakit hati juga. Sedih tapi hanya sekejab. Tidak sampai larut dalam kesedihan. Karena saya percaya, suatu ketika saya akan mendapatkan pengganti yang lebih baik. Bisa jadi dia bukan yang terbaik buat saya.

Saya pun menghadiri pernikahannya. Selain untuk mengucapkan "turut berbahagia", juga untuk melihat sosok perempuan yang dinikahinya. Seperti apa sih? Hahaha...

Setelah dia menikah saya masih sempat beberapa kali bertemu dengannya di lapangan. Ya, biasa-biasa saja saya. Tidak menghindar, tidak juga membiarkan. Tetap menyapanya. Mengobrol seperti tidak ada kisah yang indah dan mengenaskan di antara saya dengannya. Semua berlalu begitu. Tidak ada yang perlu diingat-ingat dan diungkit-ungkit. Semua sudah berakhir.

Saya bersyukur, paska kejadian itu saya tidak mengalami stres, depresi, sakit hati, sedih, bingung, kesepian, frustrasi, atau kehilangan seperti yang saya baca di artikel terkait dampak ghosting terhadap psikologi korban.

Dampak ghosting yang saya baca, korban mulai merasa dirinya mengalami penolakan dan berakhir dengan mempertanyakan kepantasan diri sendiri. Penolakan sosial bisa menyebabkan rasa sakit yang sama dengan sakit fisik.

Kalau sakit fisik bisa diobati dengan konsumsi obat tertentu, rasa sakit karena di-ghosting tidak bisa. Orang yang di-ghosting harus menerima dan merasakan sendiri dampak ghosting yang bisa berujung pada stres fisik.

Kalau sudah begitu, ghosting tidak hanya akan memicu dampak secara psikologis tapi juga pada kesehatan fisik secara keseluruhan. Korban ghosting juga bisa mengalami penurunan rasa percaya diri, merasa dibuang, tidak bisa diterima, dan menjadi tidak lagi memiliki keinginan untuk memulai hubungan di masa mendatang, baik secara romantis maupun jenis hubungan lain.

Syukurlah saya tidak mengalami hal-hal demikian.

Begitulah pengalaman saya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun