Setelah dia menikah saya masih sempat beberapa kali bertemu dengannya di lapangan. Ya, biasa-biasa saja saya. Tidak menghindar, tidak juga membiarkan. Tetap menyapanya. Mengobrol seperti tidak ada kisah yang indah dan mengenaskan di antara saya dengannya. Semua berlalu begitu. Tidak ada yang perlu diingat-ingat dan diungkit-ungkit. Semua sudah berakhir.
Saya bersyukur, paska kejadian itu saya tidak mengalami stres, depresi, sakit hati, sedih, bingung, kesepian, frustrasi, atau kehilangan seperti yang saya baca di artikel terkait dampak ghosting terhadap psikologi korban.
Dampak ghosting yang saya baca, korban mulai merasa dirinya mengalami penolakan dan berakhir dengan mempertanyakan kepantasan diri sendiri. Penolakan sosial bisa menyebabkan rasa sakit yang sama dengan sakit fisik.
Kalau sakit fisik bisa diobati dengan konsumsi obat tertentu, rasa sakit karena di-ghosting tidak bisa. Orang yang di-ghosting harus menerima dan merasakan sendiri dampak ghosting yang bisa berujung pada stres fisik.
Kalau sudah begitu, ghosting tidak hanya akan memicu dampak secara psikologis tapi juga pada kesehatan fisik secara keseluruhan. Korban ghosting juga bisa mengalami penurunan rasa percaya diri, merasa dibuang, tidak bisa diterima, dan menjadi tidak lagi memiliki keinginan untuk memulai hubungan di masa mendatang, baik secara romantis maupun jenis hubungan lain.
Syukurlah saya tidak mengalami hal-hal demikian.
Begitulah pengalaman saya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H