Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Saya Gagal Vaksinasi Covid-19, Ini Penyebabnya

27 Februari 2021   16:31 Diperbarui: 27 Februari 2021   18:37 1779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini, Sabtu (27/2/2021), saya dijadwalkan vaksinasi Covid-19 pada pukul 08.00 - 10.00 di Hall Basket Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta Pusat.

Saya jelas semangat, terlebih setelah bertanya kepada dokter yang memeriksa saya saat kontrol pada Rabu (24/2/2021), dokter memperbolehkan penyintas kanker seperti saya untuk divaksinasi.

Sampailah saya di GBK, setelah naik ojek online dari Stasiun Palmerah. Saya pun diskrining. ID card saya diminta untuk dipakai. Petugas juga meminta saya untuk mencuci tangan, setelah itu cek suhu tubuh saya.

Karena suhu tubuh normal, kemudian saya dipersilakan masuk dan diminta untuk menunggu, hingga antrian sebelumnya usai. Di sini, puluhan kursi berjejer dengan berjarak 1 meter. Setelah antrian paling depan dipanggil, saya pun berpindah kursi mengisi kursi yang kosong.

Sebelum mendapat nomor antrian vaksin, data-data saya terlebih dahulu divalidasi, dengan menyerahkan KTP saya. Setelah nama saya dipastikan ada, baru saya diberikan nomor antrian di ruang sebelah. Saya mendapat nomor 613.

Lalu saya pindah ke ruang berikutnya. Di sini, saya dan yang lain baru melalui proses pendaftaran. Dalam satu ruangan pendaftaran saya perhatikan ada sekitar 30 meja untuk registrasi dengan 30 petugas. Mejanya pakai pembatas tembus pandang.

Di ruangan ini, oleh petugas yang berpakaian APD lengkap, KTP saya diminta untuk didata, kemudian saya diminta mengisi nama, tanggal lahir, NIK, alamat, dan nomor handphone yang bisa dihubungi.

Kemudian petugas memberikan kertas yang saya isi tadi berikut KTP. Petugas juga meminta saya untuk menempelkan stiker huruf B di bagian kanan yang terlihat. Lalu oleh petugas lain, saya diarahkan ke ruangan yang lain.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Di ruangan ini, saya diminta menunggu sesuai dengan stiker yang tertempel di jilbab saya. Lalu, saya pun dipanggil dan diarahkan duduk. Di sini, saya diskrining lagi.

Suhu tubuh saya kembali dicek, tekanan darah saya diukur dengan alat tensimeter full otomatis. Alatnya bukan melilitkan manset di lengan atas, mengukurnya juga tidak pakai stetoskop seperti biasanya.

Petugas medis meminta saya memasukkan lengan kanan saya ke lubang hingga ke pangkal lengan dengan posisi telapak tangan terbuka. Lalu, saya diminta untuk pencet tombol start, dan alat pun bekerja.

Dalam hitungan detik hasilnya pun keluar yang ditandai dengan keluarnya struk berupa kertas yang berisi catatan tekanan darah saya. Hasilnya normal.

Lalu saya ditanya-tanya. Apakah saya pernah terinfeksi Covid-19, pernah tinggal serumah dengan positif Covid-19, apakah saya pernah mengalami gejala menyerupai Covid-19? Semua pertanyaan itu saya jawab "tidak".

Petugas kemudian bertanya, apakah saya punya penyakit jantung, atau ginjal? Saya jawab "tidak". Pertanyaan berikutnya apakah saya ada komorbid atau penyakit penyerta?

"Saya penyintas kanker," jawab saya.
"Kanker apa?" tanya petugas.
"Payudara?" jawab saya.
"Sudah lama?" tanyanya lagi.
"Operasi 2018, radioterapi 2019, kemoterapi 2019," jawab saya.
"Ada obat yang diminum?" tanyanya.
"Ada, tamofen," kata saya.
"Sampai hari ini minum?" tanyanya lagi.
"Iya," jawab saya.

Petugas lantas tidak mengizinkan saya untuk divaksinasi dengan alasan tersebut.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
"Kata dokter yang memeriksa saya boleh kok divaksin. Sel kanker saya dalam keadaan terkontrol. Rabu kemarin kan saya kontrol, sekalian saya tanya soal vaksin Covid-19, dan jawabnya boleh. Saya juga sudah konsultasi dengan dokter RS Dharmais, katanya boleh kok divaksin," kata saya.

Petugas tetap tidak mengizinkan. Saya bilang, dokter membolehkan saya vaksin karena saya termasuk kelompok berisiko tertular Covid-19. Jadi, vaksinasi harus dan perlu.

Ia tetap tidak mengizinkan saya karena merujuk prosedur yang dikeluarkan Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bahwa peserta vaksin Covid-19 dengan komorbid jika akan divaksin harus disertai dengan surat rekomendasi dokter.

"Boleh divaksin tapi harus disertai dengan surat rekomendasi dari dokter," kata petugas seraya memperlihatkan lembaran kertas yang berisi panduan orang yang boleh divaksin. Salah satunya penyintas kanker.

Waktu kontrol Rabu kemarin sih saya sempat bertanya kalau dokter membolehkan saya vaksin Covid-19 apakah saya perlu surat rekomendasi dari dokter yang menyatakan demikian? Katanya, tidak usah, dengan alasan sel kanker saya dalam keadaan terkontrol.

Jadilah saya gagal divaksin. Data saya pun disebutkan jadwal ulang. Dia bilang, saya bisa divaksin di mana saja. Di rumah sakit, puskesmas, klinik, tapi disertai dengan surat rekomendasi dokter yang menyatakan saya boleh divaksin.

Jelas saya kecewa tidak jadi vaksin hari ini. Bete pokoknya. Coba tadi saya tidak bilang saya penyintas kanker, pasti saya lolos. Saya kan ingin tahu juga apa reaksi saya setelah divaksin. Apakah mual-mual, bengkak, lemas, pingsan, atau lainnya seperti yang dialami beberapa kawan di hari sebelumnya?

Ya, kemarin ada beberapa kawan mengalami kejadian seperti itu, tapi setelah diperiksa oleh petugas kesehatan lebih karena kurang istirahat, begadang, dan tidak sarapan. Faktor-faktor ini bisa membuat tubuh seseorang kekurangan gula darah. Bukan karena efek dari vaksinasi.

Saya pun akhirnya ke luar ruangan, lalu saya kembali didata, menuliskan alasan saya tidak divaksin hari ini.

Nomor antrian saya pun ditukar dengan snack dan souvenir yang berisi 10 lembar masker medis, 2 lembar masker kain, 1 botol hand sanitizer, flask disk, voucer naik gojek/gocar senilai Rp10.000 dan potongan harga grabfood senilai Rp25.000, serta buku paket advokasi "Vaksinasi Covid-19, Lindungi Diri, Lindungi Negeri".

Ya kecewa sih, apalagi saya sudah meninggalkan sesi belajar tahsin dan kajian muslimah Majelis Taklim Masjid Al Ihsan Permata Depok. Tapi mau bagaimana lagi?

Saya yakin pasti ada hikmahnya di balik itu semua, yang entah apa, saya belum tahu. Tak apa-apalah masih ada gelombang berikutnya. Saya pun kembali mendaftar secara online.

Jadi, buat siapa saja yang nanti akan divaksin Covid-19 dengan membawa penyakit penyerta, apapun itu penyakitnya, jangan lupa membawa surat rekomendasi dokter yang memeriksa kita yang menyatakan kita diperbolehkan untuk divaksin.

Daripada nanti kecewa pas di lokasi. Setelah mengantri eh ternyata kita tidak diijinkan untuk divaksin. Bete kan?

Demikian laporan saya. Semoga bermanfaat. Semoga kita semua selalu sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun