ekonomi. Beberapa pakar ekonomi malah menyebutkan Indonesia sudah dalam keadaan resesi. Di tengah pandemi Covid-19 yang belum kunjung mereda, kesiapan pemerintah dalam menyusun langkah pemulihan menjadi sangat krusial.
Saat ini, Indonesia diambang resesiDampak pandemi Covid-19 pada perekonomian memang sangat luar biasa. Banyak usaha industri dan jasa menutup usahanya, bahkan berangsur-angsur melumpuhkan sistem ekonomi dunia. IMF memprediksi kondisi ekonomi global akan mengalami penurunan pertumbuhan hingga ke angka -3%.
Padahal, selama ini beberapa tahun terakhir nilai pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 4-5%. Sepanjang tahun lalu, pertumbuhan ekonomi negara kita berada di zona negatif.
Dalam ekonomi makro, para ahli menyatakan resesi atau kemerosotan adalah kondisi ketika produk domestik bruto (PDB) menurun, atau ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun. Bisa juga dipahami krisis ekonomi sebagai adanya shock pada sistem perekonomian di suatu negara.
Resesi dapat mengakibatkan penurunan secara simultan pada seluruh aktivitas ekonomi seperti lapangan kerja, investasi, dan keuntungan perusahaan. Jika resesi ekonomi berlangsung dalam waktu yang lama, maka akan masuk ke fase depresi ekonomi.
Suatu negara dikatakan mengalami depresi ekonomi jika pertumbuhan ekonominya kontraksi dalam jangka panjang atau lebih dari satu tahun. Dan, Indonesia dalam bayang-bayang "mencekamkan" jika tidak ada strategi jitu mengatasi resesi ekonomi.
Demikian persoalan yang mengemuka dalam Seminar Nasional Online "Strategi Indonesia dalam Menghadapi Ancaman Resesi Ekonomi", yang saya ikuti, Sabtu (6/2/2021). Seminar ini diadakan Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Institut Ilmu Sosial dan Manajemen STIAMI bersama Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Institut STIAMI.
Seminar ini menghadirkan pembicara utama Staf Ahli Kementerian Keuangan Yustinus Prastowo. Adapun sebagai pembicara menampilkan Asisten Deputi Bidang Pengembangan Industri Kementerian Koordinator Perekonomian Dr. Atong Soekirman, MM yang juga dosen tetap Institut STIAMI, dan Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Dr. Adi Budiarso.
Yustinus Prastowo mengungkapkan, pada kuartal terakhir tahun 2020, pertumbuhan ekonomi nasional minus 2,1 persen. Ditambah lagi angka kasus Covid-19 di tanah air yang terus meningkat, membuat sektor ekonomi semakin terpukul.Â
Resesi ekonomi sendiri dalam pandangannya adalah tahap alami dari siklus hidup ekonomi. Menurutnya, resesi ekonomi memiliki efek domino pada perekonomian suatu negara.Â
Pertama, aktivitas ekonomi tidak akan semasif seperti kondisi non-resesi. Jika aktivitas ekonomi berkurang, maka umumnya permintaan terhadap barang dan jasa juga akan ikut melambat.
Kedua, perusahaan akan berupaya melakukan efisiensi operasional semisal dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Ketiga, gelombang PHK akibat rentetan peristiwa tersebut menambah jumlah pengangguran.
Kempat, ketika pendapatan masyarakat berkurang, aktivitas konsumsi juga ikut terkikis atau berkurang. Kelima, saat sumber pendapatan telah berkurang atau habis terdapat tambahan jumlah penduduk miskin semakin besar.
Yustinus menyadari, kesiapan pemerintah dalam menyusun langkah pemulihan untuk menghadapi ancaman resesi ekonomi menjadi sangat krusial. Terutama terkait kebijakan fiscal sebagai tulang punggung pemulihan ekonomi nasional.
"Pemerintah terus melakukan ikhtiar dengan kebijakan-kebijakan ekstra ordinary. Misalnya mengubah postur APBN yang dilakukan secara terbuka. Dalam perubahan postur APBN ini pemerintah merevisi target pendapatan dan memperhitungkan potensi defisit anggaran. Upaya-upaya ekstra ordinary terus kita lakukan guna menghindari fase depresi ekonomi," katanya.
Sementara itu, Adi Budiarso menyampaikan beberapa strategi Indonesia agar terhindari dari resesi. Di antaranya akselerasi eksekusi Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), memperkuat konsumsi pemerintah dan konsumsi masyarakat.
Menurutnya, mengoptimalkan peran belanja pemerintah menjadi penting untuk menstimulasi roda ekonomi. Untuk memperkuat konsumsi masyarakat, perlu akselerasi belanja bantuan sosial dengan modifikasi belanja perlindungan sosial di antaranya besaran dinaikkan, frekuensi ditambah, dan periode diperpanjang.
Terkait dampak Covid-19 terhadap industri, Atong Soekirman mengungkapkan rata-rata utilitas industri sebelum pandemi sekitar 75 persen-80 persen. Artinya, ada penurunan utilitas lebih dari 20 persen akibat covid-19, bahkan ada yang di bawah 50 persen.
Atong menjabarkan penurunan utilitas terjadi di sejumlah industri -- makanan, minuman, pengolahan tembakau, tekstil dan pakaian. Termasuk juga utilitas di industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki, kayu dan barang dari kayu, kertas dan barang dari kertas, serta pencetakan dan reproduksi media rekaman.
Hal yang sama juga dialami utilitas di industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia, farmasi dan produk obat kimia, karet dan barang dari karet, serta kendaraan bermotor.
"Kami sedang coba mengantisipasi, sehingga produksi yang dihasilkan industri akan disalurkan dan bisa terserap," tutur Atong.
Rektor Institut STIAMI Prof Dr Ir Wahyudin Latunreng, saat membuka seminar mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan bergantung pada upaya pemerintah dalam menyalurkan stimulus pemulihan ekonomi nasional. Para pengusaha pun harus mulai menyiapkan strategi guna mempertahankan bisnisnya di tengah kelesuan ekonomi.
Karena itu, pemerintah harus segera mempersiapkan langkah pemulihan, agar dampaknya tidak menjadi semakin parah dan menimbulkan kepanikan. Dan, seminar ini untuk memberikan masukan kepada pemerintah terkait kebijakan strategis yang bagaimana untuk menghadapi resesi ekonomi selama pandemi.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H