Beberapa hari lalu saya berkunjung ke rumah orangtua saya sepulangnya saya dari RS Hermina Depok. Rumah orangtua saya tidak begitu jauh dari rumah saya. Cuma naik angkot sekali saja. Tarifnya juga hanya 3000.
Setelah menumpang makan dan ngobrol-ngobrol dengan abang, adik, dan ibu saya, juga menjenguk ayah saya yang kondisinya sudah lebih baik dari hari sebelumnya, saya pun pamit.
Kebetulan juga mendung banget. Jadi, saya sebisa mungkin harus sampai di rumah sebelum hujan turun. Ya bawa payung sih, tapi tetap saja bakal kebasahan karena saya perkirakan hujan turun deras.
Nah, sebelum pulang, saya dibekali pisang kepok yang belum matang hasil "panen" di halaman belakang rumah orangtua saya. Kata ibu saya, dalam dua hari lagi juga matang. Padahal, dua minggu sebelumnya saya sudah dibawakan pisang kepok.
Pisang itu sudah disiapkan dalam satu kantong plastik besar. Sesampainya di rumah, saya hitung ada sekitar 30 buah pisang. Alhamdulillah..., bisa dijadikan kudapan buat suami dan anak-anak nih di pagi hari.
Pisang goreng adalah kesukaan suami. Dan, seperti biasa, ekspresi suami senang mendapati suguhan pisang goreng dan kopi hitam kesukaannya. Matanya pasti selalu berbinar. Terlebih hujan masih enggan beranjak pergi.
Karena pisang yang belum dikupas masih banyak dan mengingat buah pisang tipe buah yang cepat busuk, saya pun terpikirkan untuk membagikannya kepada tetangga.Â
Saya bagikan kepada dua tetangga depan rumah, satu teman saya yang tetangga jauh, dan si mbak. Masing-masing mendapatkan 6 buah pisang, dan menyisakan 2 buah pisang lagi buat saya.Â
Saya minta tolong anak kedua saya untuk memberikannya kepada 2 tetangga depan rumah yang kebetulan rumah-rumah sahabatnya.
"Tolong kak, kasih ke Mama Rachel dan Mama Keenan. Bilang buat bikin pisang goreng gitu. Makan saat dingin-dingin begini, pasti enak. Jangan lupa pakai masker," kata saya, Minggu (31/1/2021). Anak kedua saya pun beranjak pergi.
Sementara tetangga jauh saya, yang pengusaha "Badendang" itu mampir ke rumah sehabis berbelanja sayuran. Saya memang memintanya mampir setelah ia menjawab "mau" atas tawaran pisang saya. Biasa, sambil mengobrol-ngobrol di ruang dapur.
Setelah kawan saya pulang, tak lama anak tetangga depan rumah datang membawakan beberapa potong gorengan bakwan dan tempe goreng yang mirip mendoan, yang masih hangat.
"Ini dari bunda," katanya. Wah, saya sebenarnya tidak berharap akan mendapatkan balasan seperti ini. Saya murni ingin berbagi tanpa mengharap balasan. Tapi, masa iya saya harus menolaknya? Kan rejeki tidak boleh ditolak. Iya, kan?
Alhamdulillah... Saya pun mengucapkan terima kasih. Kebetulan, bakwan adalah kesukaan saya, apalagi kalau dalam keadaan hangat. Lidah dan perut saya pasti tidak menolak. Ditambah pedasnya cabai rawit menambah kehangatan di antara dingin yang menusuk kulit.
Selepas maghrib, anak kawan saya yang tetangga jauh itu mampir membawakan kolak pisang dicampur ubi dan singkong di dalam wadah berwarna hijau. Wah..., kenapa jadi dibalas begini. Padahal, saya kan pure memang ingin berbagi. Mau ditolak, ya tidak enak. Rejeki kok ditolak.Â
Alhamdulillah... Saya pun mengucapkan terima kasih. Kebetulan si kecil memang doyan kolak. Jadi, dimakanlah oleh anak bungsu saya sebelum tidur.
Berbagi makanan dengan tetangga, menurut saya, adalah cara mudah untuk dekat dan akur dengan tetangga. Menjaga kerukunan dengan tetangga juga penting kita perhatikan. Kita tidak mungkin juga kan tinggal sendiri tanpa orang lain?
Hidup akur dengan tetangga bisa dimulai dengan hal kecil seperti berbagi makanan.
Terkadang juga saya dan suami memberikan oleh-oleh sepulang dari dinas luar kota. Atau membagikan buah rambutan yang matang yang tumbuh di depan rumah.
(Tidak melulu berbagi makanan juga sih. Bertanya kabar, menegur tetangga, menjenguk saat sakit, mengobrol, meminjamkan sesuatu, mengantarkan jenazah tetangga yang meninggal, juga bisa membuat hubungan pertetanggaan yang dibina kian akur dan rukun)
Hidup akur dan rukun dengan tetangga memang menjadi suatu keharusan. Karena kalau terjadi apa-apa dengan kita, tetanggalah orang pertama yang menolong kita. Bukan saudara atau teman sosial kita.
Berdasarkan apa yang saya pahami, kita berkewajiban untuk menghormati dan memuliakan tetangga. Â Salah satu caranya, dengan gemar memberi kepada tetangga. Ini adalah ungkapan penghormatan kita kepada tetangga.
Bertetangga adalah tanda manusia hidup saling berdampingan. Dan, tetangga adalah orang yang terdekat dalam kehidupan kita. Ketika kita keluar rumah, rumah-rumah tetangga yang kita lewati itulah yang terdekat dalam kehidupan kita. Karena itu, kita harus bisa hidup rukun dengan tetangga.
Seberapa dekat kita dengan tetangga? Dalam agama yang saya anut, kedudukan tetangga sangat tinggi. Rasulullah SAW bahkan mengaitkan kesempurnaan keimanan seseorang dan hari akhir dengan sikap memuliakan tetangga.
Sebagaimana Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia memuliakan tetangganya." (HR. al-Bukhari no. 6019, dari sahabat Abu Syuraih radhiyallahu 'anhu)
Begitu pula yang dikisahkan Dari Abu Zar ra, yang katanya: "Rasulullah SAW bersabda: "Hai Abu Zar, jikalau engkau memasak kuah, maka perbanyaklah airnya dan saling berjanjilah dengan tetangga-tetanggamu -- untuk saling beri-memberikan". (HR Muslim)
Dari hadist ini, kita disunnahkan untuk berbuat baik dengan tetangga. Salah satunya dengan memberi makanan pada tetangga.
Menurut saya memberi makanan adalah kebiasaan yang sarat dengan nilai silaturahim, bahkan pembuka pintu-pintu rezeki. Dengan saling menukar makanan atau sekedar memberi tanpa balas, maka kita berarti sudah membangun keakraban.Â
Bisa jadi, itu yang membuat selama 16 tahun saya tinggal di kompleks ini, hubungan antartetangga adem ayem saja, akur-akur saja, rukun-rukun saja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H