sepasang mata kecil yang sembab, berdiri di ketinggian tanpa atap, menatap nanar air keruh berwarna coklat pekat, yang membawa pergi segala kenangan, yang tersimpan dalam rumah, entah ke mana bapak ibu.
lelaki kurus duduk terpekur, menatap kosong, dalam rengkuhan senja yang dingin, tak tahu apakah ia masih punya asa, sepertinya sudah terkubur dalam reruntuhan, bersama cita-cita yang baru saja direngkuh.
senyum bocah perempuan itu terlihat getir, saat menyadari sang ibu telah pergi, bersama virus corona yang bersemayam dalam tubuhnya, mungkin ibu ingin menemani bapak, yang sudah pergi lebih dulu, ia pun sendiri.
mata-mata sembab berguliran, menyimpan pedih dan luka, mendengar kabar tak ada kehidupan dalam pesawat yang naas itu, tawa dan senyum pun sirna, hilang dalam lautan, bersama suara-suara pilu, yang terbawa riak.
bayi dalam pelukan ibu, tak jua berhenti menangis, menggigil dalam pekatnya malam, suara ibu terdiam, tubuhnya tak bergerak, terhantam oleh angin ribut, menghancurkan rumah kecil yang tak bercahaya, tak lagi ia rasakan kehangatan.
apa yang salah dengan negeri ini? bencana silih berganti mencerca, mencabik-cabik ketenangan, merenggut kebahagian, menghancurkan impian, membunuh harapan, meninggalkan nestapa, yang terus berulang.
dan aku pun tenggelam dalam duka...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H