Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Pengalaman Terbang Saya: Menangis, Tegang, Terpesona

17 Januari 2021   14:39 Diperbarui: 18 Januari 2021   02:23 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertama kali saya naik pesawat itu seingat saya ketika usia saya 5 tahun. Waktu itu, naik Merpati Nusantara Arlines (MNA) dengan rute Ujung Pandang -- Jakarta. Saya lupa untuk keperluan apa.

Karena saya terus menangis, entah karena takut naik pesawat, entah takut ketinggian, jadilah selama perjalanan itu saya dipangku ayah saya, bukan duduk, tapi berdiri di koridor pesawat!

Saya masih ingat, kalau terdapat sedikit guncangan, tangan ayah saya langsung memegang sandaran kursi. Tapi seingat saya perjalanan mulus-mulus saja. Jadi apa yang saya tangisi?

Pramugari sudah berulang kali menawari saya permen, tapi saya menanggapi dengan tangisan. Mungkin pramugarinya heran, anak kecil kalau nangis dikasih permen biasanya langsung diam. Lha saya?

Kalau ingat peristiwa ini, saya suka geli sendiri. Memangnya naik bus berdiri? Bagaimana reaksi penumpang lain yang mendapati saya terus menangis. Apakah merasa terganggu? Tapi mereka diam saja tuh.

Saya lupa ketika mendarat apakah ayah saya tetap berdiri? Pastinya sih duduk dan tidak mungkin juga berdiri karena saat mendarat kan hempasan cukup keras dan bisa membuat penumpang berdiri terhempas.

Saya mulai sering naik pesawat ketika sudah bekerja karena sering ditugaskan ke luar kota. Baik atas permintaan kantor atau permintaan kementerian, lembaga, organisasi, atau swasta. Dan, saya senang-senang saja. Tidak ada kekhawatiran akan terjadi apa-apa.

Bagi saya yang sudah cukup lama menekuni profesi saya, lebih dari 25 tahun, terbang dari daerah dan pulau mana saja dan ke mana saja di seluruh Indonesia sudah saya jalani. Dari Sabang sampai Marauke. Dari pulau besar hingga pulau terluar dan terpencil.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Menggunakan pesawat dengan jenis, model, kelas, dan maskapai berbeda -- termasuk Sriwijaya Air dan Batik Air, pun sudah saya alami juga. Dari tipe Boeing, Airbus, hingga ATR. Dari duduk dekat jendela, di tengah, dekat selasar, dekat pintu darurat, dekat ekor pesawat atau toilet, juga sudah saya rasakan.

Naik helikopter, Herkules, dan pesawat kepresidenan saja yang belum saya rasakan. Kalau naik pesawat pribadi sih sudah pernah.

Waktu itu, naik pesawat pribadi milik Aburizal Bakrie ketika ia menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) dalam rangka kunjungan kerja ke Yogyakarta. Selama perjalanan semua lancar-lancar saja.

Moment yang paling menentukan saat naik pesawat adalah ketika pesawat siap take off dan landing. Menurut saya, ini adalah moment yang paling menentukan dalam kelancaran penerbangan. Itu sebabnya, kita selalu diminta untuk tetap duduk dan memakai sabuk pengaman.

Selama pengalaman naik pesawat, saya juga sudah mengalami berbagai situasi. Mulai dari perjalanan yang tenang-tenang saja, cuaca buruk seperti hujan dan petir, tertutup awan, berguncang, pesawat berputar-putar, hingga turbulensi. Alhamdulillah, masih diberi keselamatan hingga sampai tujuan.

Pernah dalam perjalanan dari Manokwari, Papua Barat ke Jakarta, pada 21 September 2019, pesawat yang saya tumpangi berguncang hebat beberapa kali, seperti gempa. Padahal sepenglihatan saya, cuaca dalam keadaan cerah. Tidak ada hujan, tidak ada petir. Kebetulan saya duduk dekat jendela.

Saya yang akan menyantap hidangan sarapan pun berhenti sejenak, meski perut sudah kelaparan. Wadah makanan di meja bergetar cukup hebat. Cangkir berisi teh manis bermuncratan.

Berulang kali pramugari mengumumkan "cuaca di luar tidak bersahabat". Penumpang pun dimohon untuk tetap duduk dan menggunakan sabuk pengaman.

Cuaca tidak bersahabat? Apanya yang tidak bersahabat? Saya yang duduk di dekat jendela melihat ke luar, cuaca cukup cerah. Pesawat juga tidak melewati gumpalan awan?

Dalam benak saya, yang namanya cuaca tidak bersahabat itu kalau awan gelap, hujan deras, petir menggelegar, badai. Kalau ini kan cerah. Sangat cerah. Mengapa dibilangnya cuaca tidak bersahabat?

Waktu terbang dari Jakarta ke Manokwari tengah malam, juga mengalami hal yang sama. Membuat saya tidak bisa tidur. Pramugari mengatakan "di luar cuaca tidak bersahabat". Karena gelap, saya yang duduk di dekat jendela tidak bisa "memastikan" apakah cuaca memang lagi tidak bersahabat?

Saya membayangkan kejadian buruk terjadi seperti berita kecelakaan pesawat yang saya baca. Jatuh ke laut, menghantam permukaan laut, pesawat hancur, lalu tenggelam. Iiih... bayangan yang mengerikan.

Ya memang kemungkinan nanti saya dapat asuransi kecelakaan yang nilainya bisa jadi cukup besar sebagaimana yang saya baca di berita. Ahli waris pun dapat uang duka.

Tapi kan saya tidak mau mati lebih cepat. Saya masih mau melihat anak-anak tumbuh hingga dewasa. Iya, kalau suami menikah lagi, ia mendapatkan isteri yang lebih baik dari saya? Kalau isterinya galak dan anak-anak tidak diperlakukan semestinya?

Tidak, tidak. Saya tidak mau itu terjadi. Saya pun berdoa, semoga selama perjalanan selalu dalam perlindungan Allah SWT. Dan, Alhamdulillah... sesampainya di Bandara Soekarno Hatta pesawat Garuda Indonesia yang saya tumpangi mendarat mulus. Legaaaa.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Meski pernah mengalami kejadian yang membuat sport jantung, saya tetap naik pesawat di kemudian hari. Kan tidak selalu mengalami "hal-hal buruk".

Hal-hal indah pun sering saya alami saat naik pesawat. Yang selalu saja membuat saya terpesona. Menyaksikan matahari terbit, matahari tenggelam, lautan yang hijau, hamparan awan yang berarak, langit senja yang membentang, dan banyak lagi. 

Kadang suka berkhayal juga bisa membuka pintu pesawat dan menari-nari di atas awan hahaha...

Bagi saya, tidak ada pilihan lain selain naik pesawat jika bepergian jauh melintasi pulau. Terlebih negara kita adalah negara kepulauan. Kecepatan dan ketepatan waktu hingga harga tiket yang terjangkau menjadi keunggulan moda transportasi ini.

Dibandingkan naik kapal laut atau naik bus atau naik kereta yang berhari-hari. Mau kapan kita sampai di tujuan? Yang ada lelah yang mendera.

Berdasarkan laporan CNBC Indonesia yang saya baca tertanggal 11 Januari 2021, kendati sudah ada dua kecelakaan pesawat dalam dua tahun terakhir, moda transportasi jalur udara masih terbilang yang paling aman jika dilihat dari intensitas terjadinya kecelakaan.

Sejak 1992-2018 disebutkan ada 7 kecelakaan pesawat yang menewaskan 924 orang. Kebanyakan merupakan penumpang pesawat dan kru awak kabin kecuali pada insiden Mandala Airlines yang gagal lepas landas dari Bandara Polonia Medan sehingga menewaskan 41 orang warga pada 2005.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Sejak 1992-2018 ada 7 kecelakaan pesawat yang menewaskan 924 orang. Kebanyakan merupakan penumpang pesawat dan kru awak kabin kecuali pada insiden Mandala Airlines yang gagal lepas landas dari Bandara Polonia Medan sehingga menewaskan 41 orang warga tahun 2005 silam.

Untuk berjaga-jaga jika terjadi hal yang tidak diinginkan, biasanya saya selalu menyimak penjelasan keselamatan yang diperagakan awak kabin sebelum take off.

Penjelasan ini terkait informasi bagaimana upaya penyelamatan jika terjadi kedaruratan. Bagaimana cara menggunakan sabuk pengaman, masker oksigen, mengoperasikan pintu dan jendela daruat, baju pelampung, serta kartu keselamatan.

Saya juga membaca kartu keselamatan atau Safety Information Card yang terdapat di depan tempat duduk. Panduan ini, menurut saya, sangatlah bermanfaat ketika situasi yang tidak diharapkan terjadi. Jadi, saya bisa tahu pintu darurat mana yang terdekat dari tempat duduk saya.

Juga mengecek di mana letak baju pelampung untuk memastikan memang ada. Sehingga ketika ada kejadian saya bisa meraihnya tanpa dilalui dengan kepanikan. Termasuk juga memperhatikan bagian letak masker oksigen dan membayangkan bagaimana saya memakai masker oksigen tersebut.

Setelah itu, saya berdoa agar perjalanan lancar dan selamat sampai tujuan. Terkadang saya membaca doa yang disediakan di kantong tempat duduk depan.

Intinya, ke mana pun kita pergi, entah naik pesawat, kapal laut, kereta, kendaraan pribadi, ya kita pasrahkan saja semua pada yang kuasa. Bagaimanapun kecelakaan di mana pun bisa terjadi.

Yang bisa kita lakukan hanya berdoa memohon perlindungan dan memasrahkan hidup kita padaNya karena takdir kita sudah ditentukan olehNya. Sang pemilik kehidupan.

Semoga awak dan penumpang yang tewas akibat jatuhnya pesawat Sriwijaya SJ182 di Kepulauan Seribu dimasukkan ke dalam syurgaNya. 

Kepada keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran, kekuatan, ketabahan, dan keikhlasan. Dan, semoga pula tidak ada lagi kejadian serupa di kemudian hari. Aamiin...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun