Mobil-mobil miniatur atau diecast ini adalah milik suami saya. Hanya sebagian kecil dari koleksinya yang dibawa ikut "jalan-jalan" saat "Tour de Java".Â
"Kak, mana mobil-mobilan Daddy, Daddy mau foto," kata suami pada anak pertama saya dalam perjalanan "Tour de Java" belum lama ini. Mobil-mobil itu memang dititipkan ke anak saya karena tas kecil suami yang bertuliskan "Jeep" penuh.
Dalam kesempatan yang berbeda, suami juga kerap membawa koleksinya yang lain. Entah sudah berapa banyak koleksinya. Saya malas menghitungnya.Â
Lebih dari 10 biji saja sudah termasuk banyak buat saya. Lha ini saya hitung-hitung bisa lebih dari 100. Makanya, saya malas menghitungnya hahaha...Â
Bagus sih, tapi buat apa? Kata suami, diecast bukan hanya sebuah mainan mobil-mobilan, tetapi juga sebuah miniatur mobil dengan detil yang menyerupai mobil aslinya.Â
Jadi, suami ingin mengoleksinya. Di kamarnya dipenuhi dengan mobil diecast. Dipajang di rak buku, di meja komputer, di atas lemari pakaian, bahkan ada yang disimpan di dalam kardus.
Mobil diecast yang dikoleksinya lebih ke mobil jenis Jeep dan Land Rover -- yang masuk ke dalam jenis Matchbox. Jeep dan Land Rover sendiri jenis mobil yang dimililki suami yang biasa dipakainya saat touring bersama komunitasnya atau off road.Â
Ada juga jenis Hots Wheel tapi tidak banyak. Jenis ini dulu sering saya beli karena anak pertama saya waktu usia balita hingga SD senang mengumpulkan mobil ini, dan ternyata menular kepada suami saya.Â
Hot Wheels adalah salah satu merek diecast yang paling terkenal di Indonesia. Diecast ini pertama kali diciptakan oleh Elliot Handler, salah satu pembuat mainan di perusahaan mainan terkemuka, Mattel, pada Januari 1968.Â
Berarti merek Hot Wheels ini sudah berumur 54 tahun. Tidak heran selalu menjadi bagian dari keinginan yang pasti diinginkan oleh sebagian anak laki-laki di seluruh dunia dari generasi ke generasi.Â
hobi, yang bisa menjembatani antara masa kini dan masa kanak-kanak. Hobi ini juga ada nilai ekonomisnya karena bisa diperjualbelikan.Â
Kata suami, ini bukan sekedar menyalurkanTinggal ditawarkan kepada komunitas atau platform media digital, dipastikan peminatnya banyak. Bahkan bisa saling tukar dengan komunitas, dan itu pernah dilakukan suami saya. Suami pernah menunjukkan chat terkait hal ini kepada saya.
Meski bisa diperjualbelikan, namun sejauh ini saya sepertinya belum melihat suami menjual koleksinya itu. Soalnya setiap saya tanya jawabannya sayang mulu. Tunggu moment yang pas, katanya. Entah kalau di belakang saya hahaha...Â
Pernah sih bilang ke saya mau dijual tapi tunggu harganya bagus. Kata suami nilainya bisa berkembang untuk tipe-tipe tertentu. Harga diecast bisa naik karena sudah masuk dalam kategori langka.
Dunia diecast beda dengan elektronik. Barang elektronik semakin sering dipakai harganya semakin turun. Berbeda dengan diecast. Semakin lama malah semakin klasik. Tak lekang oleh waktu.
Suami cerita ada kawannya yang menjual koleksi diecast. Dari yang dibeli dengan harga jutaan, saat dijual kembali harganya bisa belasan hingga puluhan juta. Ada juga yang menjualnya hingga ratusan ribu rupiah padahal saat dibeli hanya tak sampai Rp20.000.
Nah, suami juga ingin begitu. Jadi, nanti ketika suami terdesak butuh uang, misalnya, untuk biaya sekolah anak-anak, ia bisa menjualnya. Begitu katanya kepada saya. Hmmm...apa iya bisa? Baiklah kalau begitu.
Karena itu, bergabung dengan komunitas sangat diperlukan untuk mendapatkan informasi mengenai jenis diecast yang bisa dijual dan menguntungkan. Karena setiap orang punya kesukaan dan seleranya masing-masing.Â
"Kalau teman sehobi kita banyak, kita juga bisa mengerti yang mana yang langka beneran," kata suami ketika saya pernah protes dengan kebiasaannya membeli mobil diecast secara online.
Koleksi diecast suami yang terfokus pada jenis Jeep dan Land Rover bisa dibilang karena peminatannya memang di situ. Jadi, itu juga bisa membuat anggaran untuk membeli diecast lebih efisien, dibanding mengoleksi dengan beragam jenis diecast yang kesannya jadi terlihat acak-acakan.
Bagi suami saya, ini adalah hobi yang asyik, tapi lucunya tidak pernah dimainkan suami, layaknya anak kecil yang bermain mobil-mobilan. Padahal kan yang namanya hobi adalah kegiatan rekreasi yang dilakukan pada waktu luang untuk menenangkan pikiran.Â
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi hobi adalah "kesenangan istimewa yang dilakukan pada waktu senggang"
Jadi, harusnya ya dimain-mainkan begitu, masa dipajang saja? Ngeenggg.... Ngeeenggg begitu biasa saya mengajak anak saya bermain mobil-mobilan ketika masih kecil. Ya...seperti itulah.
Entah dari mana awalnya hobi suami ini muncul. Yang jelas, awalnya hobi ini untuk menghilangkan rasa jenuh atas rutinitas dan tuntutan pekerjaan. Biar tidak stres yang nantinya dapat berpengaruh pada kinerja dan produktivitas kerja.
Jadi ketika suami terlihat mulai stres, ia langsung memandangi koleksi kesayangan yang dipajangnya di rak buku. (Tapi sekarang-sekarang sih lebih senang memandangi ikan-ikan yang berenang di akuarium sambil menyetel lagu jadul. Ini hobinya yang lain)
Dan, saya tidak bisa melarangnya, ya kan yang namanya hobi ya sesuai selera dan minat. Terlalu personal. Jadi, ya menurut saya sih sah-sah saja selama tidak mengganggu aktivitas atau kegiatan wajib suami.
Karena itu, tidak bisa juga saya alihkan begitu saja ke yang lain. Yang penting, saya menilai masih wajar dan tidak terkesan menggilai. Yang penting lagi tidak mengorbankan kebutuhan primer.
Apalagi banyak manfaat yang didapatkan dengan menjalankan hobi. Selain menghilangkan stres, juga dapat membunuh rasa jenuh atas rutinitas sehari-hari. Tak hanya itu.Â
Manfaat hobi yang tak kalah pentingnya, menurut informasi yang saya baca dari doktersehat.com, yakni menjadikan kita memiliki banyak kemampuan (skill). Hal ini tentu saja berdampak positif terhadap kehidupan dan dalam pengembangan karier.Â
Selama hobi itu membuat kita bahagia dengan apa yang digemari, maka hobi tersebut membawa manfaat bagi kesehatan baik fisik dan mental pribadi. Begitu penjelasannya.
Menurut kamu, bagaimana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H