Apa kabarnya program swasembada kedelai yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 2006? Selama 15 tahun berlalu belum juga terealisasi. Lha itu, buktinya, Indonesia masih sangat bergantung pada impor.Â
Harganya pun naik. Kenaikan harga kedelai di Indonesia dikarenakan naiknya harga kedelai impor. Â Yang semula dari Rp 7.200 per kilogram menjadi Rp 9.200 per kilogram. Â Sedangkan kebutuhan kedelai nasional saat ini, sebagian besar dipenuhi melalui impor.Â
Bagaimana perajin tahu dan tempe tidak menjerit, bergejolak dan terpukul? Saking tidak tahannya dengan keadaan ini, industri tahu dan tempe mogok berproduksi selama 3 hari pada 1-3 Januari lalu.Â
Padahal, sejatinya kedelai terkait erat dengan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia, yaitu tempe, tahu, dan kecap. Maka, selama 3 hari itu, masyarakat tidak bisa menikmati hangatnya tempe dan tahu goreng. Termasuk saya.
Kurangnya pasokan kedelai akan memicu
pada naiknya harga kedelai di pasaran sehingga berdampak pada produksi makanan berbahan baku kedelai. Tidak heran juga, harga tempe dan tahu setelah 3 hari mogok itu pun naik.
Sebenarnya berapa sih produksi kedelai lokal sampai Indonesia harus mengimpor? Kalau berdasarkan data Gabungan Koperasi Tempe dan Tahu Indonesia (Gakoptindo) diperkirakan kebutuhan kedelai untuk produksi para anggotanya sekitar 150.000-160.000 per bulan.Â
Itu artinya, tiap tahunnya kebutuhan kedelai berkisar 1,8 juta-1,92 juta ton. Sementara produksi kedelai lokal rata-rata mencapai 800.000-900.000 ton. Angka produksi itu sangat jauh dari kebutuhan kedelai dalam negeri.Â
Masih jauh api dari panggang, begitu kata peribahasa. Ya jauh banget kekurangannya! Konsumsi kedelai nasional dan kemampuan produksi kedelai kita memang sangat timpang.
Itu sebabnya, untuk menutupi kekurangan itu Indonesia impor dan sepertinya terus bergantung pada impor. Karena pandemi Covid-19, keberadaan kedelai import pun menjadi langka. Kalau pun ada, harganya meroket, dan para perajin tahu tempe pun menjerit hingga akhirnya mogok produksi.
Tapi, kalau menurut saya ya, Indonesia sebenarnya mampu kok memproduksi kedelai lebih banyak dari produksi rata-rata yang 900.000 ton itu. Soalnya, sudah lama Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) melalui Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) menghasilkan varietas kedelai unggul.Â
Rata-rata kandungan protein dari varietas unggul kedelai Batan sebesar 39,82 persen. Ini lebih tinggi dibanding kedelai impor yang sebesar 37,1 persen. Sementara itu, rata-rata kandungan lemak kedelai Batan sedikit lebih rendah, yakni sebesar 17,61 persen, dibanding kedelai impor yang sebesar 19,41 persen. Unggul banget, bukan?