Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Jadi Malu sama Kucing, Eh sama Dokter Deh

26 Desember 2020   08:18 Diperbarui: 26 Desember 2020   08:29 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai penyintas kanker, saya jadi rajin memperhatikan bagian-bagian tubuh saya. Jangan sampai saya abaikan seperti kejadian dua tahun lalu.

Faktor utama saya abaikan saat itu karena benjolan di payudara saya tidak terasa sakit dan tidak ada keluhan yang perlu dikhawatirkan. Dan, nyatanya saya kanker.

Sejak itu, saya mulai mawas dengan benjolan yang ada di tubuh saya. Saya raba-raba, saya tekan-tekan, saya pegang-pegang. Untuk memastikan benjolan itu bukan tumor ganas.

Benjolan abnormal di area tubuh mana saja dalam istilah kedokteran disebut tumor. Nah tumor itu ada jinak dan ganas. Tumor ganas sudah berarti dipastikan itu adalah kanker.

Sampai detik ini ucapan dokter yang memeriksa saya masih terngiang di telinga saya. Yang menjadi landasan saya untuk selalu rutin memeriksa seluruh anggota tubuh saya atau jika ada keluhan.

"Kita harus mewaspadai setiap benjolan abnormal yang ada di tubuh. Yang perlu lebih diwaspadai itu jika tidak disertai dengan keluhan karena umumnya atau biasanya itu adalah tumor ganas, dan itu artinya sudah kanker," terangnya.

Suatu ketika saat membersihkan area kewanitaan saya usai buang air kecil, saya meraba ada benjolan sebesar telur puyuh. Dan, itu disertai dengan nyut-nyut. Rasa yang biasanya menandakan ada peradangan.

Saya jelas kaget. Untuk menenangkan hati, saya coba meraba-raba lagi di waktu yang lain saat saya buang air kecil. Dan, masih ada benjolan yang juga disertai rasa cenat cenut.

Kepala saya langsung tegang. Jangan-jangan sel kanker menyebar ke organ intim saya. Terlebih beberapa waktu lalu hasil MRI abdomen (perut) saya di bagian rahim ada benjolan yang dicurigai ganas.

"Bu, coba pegang deh," kata dokter bagian Radiologi RSCM saat menekan-menekan perut area yang dicurigai dengan alat khusus. Ketika saya pegang, memang terasa ada benjolan sebesar telur puyuh.

Saya jadi khawatir pastinya. Lalu saya dikonsulkan ke dokter spesialis kebidanan dan kandungan bagian onkologi. Setelah diperiksa melalui USG Vaginal kecurigaan itu tidak terbukti.

Meski demikian, saya diminta tetap harus rutin melakukan USG vaginal setiap 3 bulan sekali. Nah, sudah setahun ini saya tidak melakukan kontrol, karena kontrol terakhir hasilnya baik-baik saja.

Jadi, saya panik juga ketika hasil rabaan saya ada benjolan di area itu. Saya mulai menyalahkan diri saya karena mengabaikan pemeriksaan USG Vaginal setiap 3 bulan sekali itu.

Saya mulai membayangkan harus operasi lagi, harus disinar lagi, harus kemoterapi lagi, harus minum obat lain lagi, harus mengalami drop lagi, harus... ah pokoknya bayangan yang pernah saya alami sebelumnya.

Kehawatiran saya ini tidak saya sampaikan kepada suami sebelum ini benar-benar fix tumor. Ya biar tidak panik saja. Seperti halnya ketika saya kanker payudara.

Suami baru tahu saya kanker ketika saya akan dioperasi karena harus ada surat pernyataan kesediaan dioperasi yang ditandatangani oleh suami atau keluarga saya.

Ketika kontrol ke dokter spesialis bedah dan onkologi RS Hermina Depok, saya sampaikan keluhan saya ini kepada dr. Budi. Lalu olehnya saya dikonsulkan ke dokter spesialis kebidanan dan kandungan.

Setelah dijadwalkan, datanglah saya ke dokter tersebut yang saya lupa namanya. Saya sampaikan hasil rabaan dan keluhan saya, juga sejak kapan itu terjadi. "Saya khawatir saja nih dok," kata saya.

Kemudian saya diminta melepaskan celana dan duduk di kursi yang ada penyanggah betis di kiri kanan kursi. Kursi yang cukup diakrabi oleh perempuan, khususnya perempuan hamil atau ingin memasang alat kontrasepsi IUD.

Dokter dan perawat yang memeriksa saya memakai alat pelindung diri lengkap. Masker, sarung tangan medis, baju hamzat, dan face shield. Di kepalanya terpasang alat senter yang cahayanya cukup terang.

"Jangan tegang ya bu," katanya yang didampingi perawat. Saya merasa tangan dokter mengobok-obok bagian organ kewanitaan saya. Tidak lama. Tidak sampai 5 menit.

"Ah, baik-baik saja kok bu. Tidak ada kelainan," kata dokter. Perawat yang mendampingi juga menyampaikan hal yang sama.

"Yang benar dok? Kok saya raba ada benjolan sebesar telur puyuh," kata saya memastikan.

"Coba ibu raba," pinta dokter. Saya pun meraba benjolan yang saya maksudkan. "Ini dok benjolannya," kata saya.

"Ibu, ibu... ini mah saluran kencing," kata dokter tertawa.

"Oh ini saluran kencing?" tanya saya. Untung saya pakai masker, jadi wajah malu saya tidak terlihat. Jadi malu sama kucing, eh sama dokter. Masa dokter disamakan dengan kucing?

"Ya ampun ibu, masa ibu nggak tahu organ intim ibu sih?" kata dokter, lagi-lagi dengan tertawa. 

Rasa-rasanya saya baru menyadari kalau itu bagian saluran kencing. Tapi masa iya sih saya baru tahu? Lha sampai setua ini saya ke mana saja? Hellooo...!

"Alhamdulillah kalau begitu dok. Syukurlah," kata saya geli.

"Tapi kok terasa nyut-nyutan ya dok?" tanya saya.

"Kapan terakhir ibu berhubungan dengan suami?" tanya dokter. Kapan ya? Saya hanya diam tidak memberikan jawaban karena malu.

Dokter lalu menjelaskan, kemungkinan rasa nyut-nyutan itu karena vagina saya kering efek dari obat tamofen, obat kanker, yang saya minum. Lalu dokter menyarankan saya untuk membeli minyak yang khusus dioleskan di organ intim, yang saya lupa apa mereknya.

Saya pun mengucapkan terima kasih lalu berlalu dengan rasa malu. Sepanjang perjalanan pulang, saya menertawakan diri saya. Antara malu dan geli, antara malu dan malu-maluin.

Saya ceritakan peristiwa ini kepada kawan saya yang juga tetangga jauh saya. "Ingat nggak yang gue bilang ada benjolan di bagian organ intim gue?"

Lalu saya ceritakan hasil pertemuan saya dengan dokter kandungan. Mendengar cerita saya, kawan saya pun tertawa terbahak-bahak.

Demikianlah cerita kekonyolan saya yang baru saat ini berani saya bagikan kepada seluruh rakyat Indonesia karena saya merasa Indonesia butuh ketawa. 

Cerita saya tidak lucu? Maka tetaplah tertawa karena tertawa itu menyehatkan. Lagi pula membuat orang happy dapat pahala juga, bukan? Iya, kan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun