Suatu hari, teman semasa kuliah saya, Mutia Zaky, yang berprofesi sama dengan saya, ingin berbelanja online di salah satu market place. Kebetulan ia mendapatkan voucher belanja 200 ribu yang hanya bisa digunakan di marketplace tersebut.
Persoalannya, dia mengaku gaptek alias gagap teknologi. Katanya, dia jarang berbelanja online dan dia juga tidak punya aplikasi marketplace yang dimaksud.Â
Masa iya sih di jaman serba modern dan digital begini masih ada yang tidak akrab dengan belanja online? Padahal, ini sesuatu kegiatan yang begitu identik dengan kaum hawa. Kegiatan yang begitu disukai para perempuan.
Jadi, dia meminta tolong saya untuk mengorderkan produk-produk yang ingin ia beli. Kebetulan di hp saya sudah ada aplikasinya, meski saya jarang memakainya. Dia menyebutkan produk-produk apa saja yang ingin dibeli.
Dibantu kawan saya, Dewi Syafrianis, pelaku UKM yang juga tetangga jauh saya, maka diorderlah pesanan-pesanan tersebut. Beras, deterjen, pembersih lantai, pembersih muka. Termasuk sambal Dendang buatan kawan saya ini. Jika ditotal semuanya sejumlah 195 ribu rupiah.
Beberapa hari kemudian, pesanan tersebut sampai, tapi sampainya ke alamat rumah saya. Wah, jelas saya heran dong kok kenapa jadi "tersesat" di rumah saya? Seingat saya, saya sudah kasih catatan untuk dikirim ke alamat kawan saya yang di Kebun Jeruk, Jakarta Barat.
Saya baru tahu kiriman "tersesat" ke rumah saya karena suami mengirimkan pesan ada kiriman paket buat saya. Salah satunya beras yang menjadi pesanan kawan saya itu.
"Ada tiga paket buat Bunda dan satu paket isi beras, Alhamdulillah," begitu WA suami saya saat saya menghadiri satu agenda pekerjaan.
Ya suami senang dong di saat mau beli beras eh tiba-tiba datang paket beras. Membeli beras memang menjadi tugas suami saya, yang tentu saja pakai uangnya sendiri. Jadi, suami saya senang, uang untuk beli beras jadi utuh.
Sesampainya di rumah, saya lantas meneliti apa yang membuat paket terkirim ke saya. Dan, ternyata alamat utamanya belum diganti, masih pakai alamat saya, meski ada catatan "barang tolong dikirim ke (teman saya berikut alamatnya)"
Ya pantas saja barang-barang itu larinya ke rumah saya. Ini mungkin karena saya dan Dewi juga gaptek, jadi "lupa" alamat utamanya tidak diubah.
Yang menggelikan lagi, Dewi yang seharusnya mengirimkan produk sambal ke teman saya itu, jadinya terkirimnya ke rumah saya juga. Tahu begitu kan tinggal ke rumah saya saja. Lha untuk ke JNE saja, kawan saya ini pasti melewati rumah saya, yang jaraknya lebih dekat ke rumah saya daripada ke JNE.
Orang JNE juga pasti bingung. Mungkin keningnya berkernyit. "Lha pengirim dan penerima di kompleks yang sama, kenapa juga harus dikirim pakai kurir? Memang lagi musuhan?" begitu barangkali kebingungan petugasnya.
Saya dan Dewi jadi tidak kuasa menahan tawa. Akhirnya, barang-barang kawan saya itu sebagian saya beli, sebagian yang berukuran kecil dikirim ke alamatnya, termasuk sambal Dendang.
Kawan saya ini lantas kembali ke JNE yang tak begitu jauh dari kompleks rumah, mengirimkan produk ke alamat kawan saya. Dan, beberapa hari kemudian kiriman itu pun sampai tanpa tersesat.
Jelas saja kawan saya bahagia pesanannya sampai dengan selamat. Saya dan Dewi juga sama bahagianya karena dapat membantu kawan saya sekaligus berbagi pengalaman dalam mengirimkan paket pakai jasa kurir JNE.
***
Anak pertama saya, Putik Cinta Khairunnisa, minta dibelikan sepatu hitam di toko online. Ia mengirimkan link marketplace tempat sepatu itu dijual ke hp saya.
Karena anak saya tiga, tidak mungkin juga kan saya beli satu, yang ada nanti adik-adiknya -- Annajmutsaqib dan Fattaliyati Dhikra, protes. Jadi, saya memesan tiga sepatu dengan ukuran yang berbeda.
Saya pun order, lantas membayar melalui mobile banking, sementara alamat rumah sudah tertera sejak pertama kali saya menggunakannya. Saya memilih pakai JNE untuk mengantar paket saya karena dari segi tarif tidak jauh berbeda dengan jasa kurir yang lain.
Beberapa hari kemudian pesanan pun sampai. Anak-anak lantas berebut untuk membuka paket tersebut. Saya melihat senyum-senyum kebahagiaan terukir dari bibir-bibir mereka.
Melihat tingkah polah anak-anak, saya pun tersenyum bisa berbagi kebahagiaan bersama anak-anak saya. Memenuhi kebutuhan anak-anak salah satu cara saya berbagi kebahagiaan. Dan, JNE turut menjembataninya.
***
Tidak sekali dua kali saya menggunakan JNE. Bisa dibilang sering. Setiap saya belanja online, selalu JNE yang menjadi andalan saya. Setiap saya ingin mengirimkan sesuatu, entah itu dokumen, koran, atau barang, saya juga memilih JNE. Â
Pelayanannya yang ramah, kiriman yang sampai tepat waktu, dan dalam selalu keadaan utuh, membuat saya sepertinya tidak bisa berpaling. Kebetulan juga kantor JNE tidak begitu jauh dari kompleks perumahan saya.
Sejatinya, JNE atau Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) tidaklah asing bagi saya. Terlebih kehadirannya memudahkan pengiriman paket sudah berpuluh-puluh tahun dilakoninya. Tepatnya selama 30 tahun jika merujuk pada hari jadinya yang ke-30 pada 26 November 2020.Â
Itu berarti, ketika saya berusia 17 tahun, JNE pun lahir. Jadi cukup lama saya mengenal JNE. Bisa jadi sejak JNE masih bayi, merangkak, berlari hingga sebesar sekarang ini.
Di usianya yang ke-30 tahun atau 3 dekade, JNE merilis logo HUT yang memiliki makna dan filosofi yang sangat dalam mengenai sejarah perjalanan perusahaan. Logonya bertuliskan angka 30 merujuk usia perusahaan.
Logo ini memiliki dasar warna merah dan pada angka nolnya ada 3 telapak tangan mungil yang bertuliskan 'Bahagia Bersama'. Logo ini hasil karya Arie Kurniawan, Ksatria di bagian Design Promotion Unit JNE.
Menurut Arie, logo ini mencerminkan filosofi JNE yang suka Memberi, Menyantuni dan Menyayangi, yang disingkat 3M. Berangkat dari pemahamannya bahwa sejak didirikan JNE memiliki kebiasaan memberi, menyantuni dan menyayangi anak yatim, fakir miskin, para tuna netra, janda tidak mampu dan kaum dhuafa lainnya.
Nah, terjawab sudah mengapa dalam mengirim paket saya lebih memilih JNE. Selain tarifnya yang cukup bersahabat di kantong dan kompetitif dengan jasa kurir yang lain, juga karena tarif yang saya bayarkan sebagian disalurkan untuk menyantuni fakir miskin dan kaun dhuafa.
Itu berarti secara tidak langsung saya ikut berkontribusi berbagi kebahagiaan dengan yang lain. Dan, saya happy karenanya, meski kontribusi saya kecil, tapi setidaknya bisa membuat yang lain tersenyum bahagia.
Seperti juga yang tergambarkan dalam telapak tangan yang ada dalam logo HUT ke-30 JNE. Menggambarkan di JNE selalu kompak dan penuh kebersamaan.
Adapun tagline 'Bahagia Bersama' hasil masukan dari Presiden Direktur JNE, Mohamad Feriadi Soeprapto. Tagline 'Bahagia Bersama' ini gabungan dari tagline HUT JNE ke-28 yakni 'Mengantarkan Kebahagiaan' dan tagline HUT JNE ke-29 'Bersama Indonesia'.
Warna merah pada angka 30 bisa bermakna berani, bergairah, semangat, sebagaimana arti merah yang saya pahami. Merah juga bisa menggambarkan perasaan yang selalu gembira dan bahagia.Â
Selain itu, warna merah juga menggambarkan pribadi yang bergerak cepat menyikapi setiap perubahan dan tantangan yang ada. Mirip-mirip saya, mengingat saya juga menyukai warna merah.
Adapun warna orange bermakna hangat, kreatifitas, kemakmuran, keramahan, optimis dan percaya diri. Ini mirip saya juga karena orange juga menjadi warna kesukaan saya.
Semoga di usianya yang ke-30 JNE terus maju dan berkembang sehingga semakin banyak orang yang tersenyum penuh kebahagiaan. Karena dari JNE, saya pun memahami pentingnya berbagi kebahagiaan.
#jne
#jne30tahun
#connectinghappiness #30tahunbahagiabersama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H