Tadi pagi anak saya yang kecil mendapat tugas salah satunya membuat puisi mengenai guru. Mungkin dalam rangka Hari Guru Nasional yang baru kemarin diperingati. Â
Puisi ini ditulis dalam selembar kertas HVS lalu dihiasi semenarik mungkin. Hasil karya ini difoto bersama anak lalu dikirim ke guru wali kelas. Karya yang bagus, katanya, akan dimuat di majalah dinding sekolah.
"Tugas BDR pagi ini Kamis, 28 November 2020. Membuat puisi tentang hari guru, Â kreasikan dengan gayamu sendiri seindah mungkin," begitu kata guru wali kelas di group.
Bagus juga ada tugas ini, jadi melatih anak mengasah untuk mengungkapkan perasaannya lewat tulisan. Bisa menuangkan ide-ide dalam bentuk tulisan  hingga menjadi sebuah karya sastra
Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan secara imajinatif. Ada pelibatan batin di dalamnya. Saya sendiri lebih senang mengungkapkan perasaan saya lewat puisi.
Anak saya bingung mau membuat puisi. Merasa tidak bisa. Wajar saja sih, ini tugas yang tidak mudah juga bagi siapa saja, terlebih siswa kelas 3 SD jika belum terbiasa.
Padahal, materi puisi itu bisa dari kehidupan sehari-hari yang kita rasakan dan kita lihat. Lalu saya memberikan contoh puisi pelajar kelas SD tentang gurunya. Saya minta untuk membacanya dan dicermati.
"Coba apa yang ade rasakan saat ini setelah diajarkan oleh guru? Anggap aja ade lagi ngomong nih sama guru. Ade mau ngomong apa, nah tulis deh," kata saya.
Saya minta anak saya menulisnya dalam kertas berbeda. Jadi kalau ia merasa ada kata yang kurang tepat atau tidak enak dibaca olehnya, bisa dihapus atau dicoret. Ya kertas corat coret.
"Kalau salah ya coret aja ganti dengan kata yang kira-kira enak. Nanti kalau ini sudah ok baru pindahin ke kertas yang satu lagi, lalu dihias deh pakai kertas origami," kata saya.
Anak saya lalu menulis sepenggal kalimat. Berhenti, kemudian berpikir. Lalu bertanya kepada saya kalau seperti yang ditulisnya boleh tidak. Saya bilang boleh.
Saya mencoba memberi rangsangan dengan mengingat pengalama apa yang didapatkan saat belajar di sekolah. Atau hal-hal apa saja yang dia sukai.
"Jangan terburu-buru," kata saya. Untuk mempermudah anak saya menuangkan isi pikirannya ke dalam tulisan, saya mengajaknya berdialog. Dengan cara ini, anak saya akan dapat mengumpulkan kosakata menurut imajinasinya.
Dalam menulis puisi sederhana saya tidak perlu meminta anak bermain dengan kata-kata konotatif yang sulit. Membentuk frasa sederhana dan kalimat yang relatif mudah dipahami itu sudah cukup.
Saya ingin anak saya dapat mengenali dan menjadi dirinya sendiri. Setelah itu, barulah anak dapat mengekspresikan inspirasinya. Nanti juga akan berkembang dengan sendiri seiring bertambahnya usia.
Bagi saya, puisi tidak hanya penting untuk diajarkan sebagai karya seni, tetapi juga merangsang anak untuk berlatih menulis dan membaca.
Muluknya saya, puisi bisa menjadi pintu gerbang anak saya memasuki ke bentuk penulisan lainnya, seperti cerpen atau tulisan lainnya.
Agak lama juga untuk menghasilkan puisi pendek. Sepertinya anak saya kesulitan dalam mengembangkan ide-idenya.Â
Bagi anak seusia ini memang butuh kesabaran untuk menghasilkan karya indah puisi. Dan, saya tidak bisa mempush harus bagus.
"Segini aja ya bun, aku cape nih nulisnya," katanya. Saya pun tidak bisa memaksanya. Ia mau menulis puisi saja sudah bagus.
Saya lantas memintanya memindahkan ke kertas baru dengan spidol warna warni. Selain biar lebih menarik, guru juga jadi mudah membacanya mengingat dikirimnya dalam bentuk foto.
Setelah itu, anak saya menghiasinya dengan kertas origami yang sesuai dengan imajinatifnya.
"Aku mau bikin pohon aja bun, sama rumput, sama hati," katanya. Saya pun mempersilakan.
Taraaa....akhirnya jadi juga puisi karya anak saya. Tetap harus diapresiasi dong biar anak saya termotivasi. Setelah dikirim ke guru, anak saya dapat nilai 85. Nilai yang cukup bagus, menurut saya.
Selesai sudah pembelajaran hari ini. Terima kasih Bu Nur yang sudah memberikan tugas yang baik ini. Tugas yang dapat mengasah nilai-nilai kebaikan dan kehidupan.