Saya anak ketiga dari lima bersaudara. Diapit dua kakak laki-laki dan dua adik laki-laki. Orang-orang sering bilang saya diapit oleh dua benua dan dua samudera. Jadi, terlindungi.
Tidak heran waktu kecil saya agak tomboy karena selalu nimbrung bermain sama teman saudara-saudara saya yang sebagian besar laki-laki.
Mungkin karena saya satu-satunya anak perempuan, banyak yang bilang saya anak kesayangan yang selalu dimanja. Tapi kalau saya yang merasakan ya biasa-biasa saja. Tidak ada yang dibedakan. Setidaknya menurut saya.
Entah ada hubungannya atau tidak bahwa anak perempuan lebih dekat dengan ayahnya, saya pun merasa lebih cenderung terbuka kepada ayah daripada ibu saya. Saya lebih suka mencurahkan apa yang saya rasakan kepada ayah saya.
Saya lebih suka meminta tolong ayah saya untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah daripada kepada ibu saya. Padahal hubungan saya dengan ibu saya baik-baik saja. Barangkali karena saya merasa lebih aman dan nyaman saja.
Mungkin karena saya melihat sosok ayah cenderung lebih tegas dan melindungi, sehingga saya sebagai anak perempuan merasa lebih aman dan nyaman bila berada di dekat ayah. Saya jadi lebih banyak belajar tentang ketangguhan dan ketegasan dari ayah.
Bisa jadi juga karena saya satu-satunya anak perempuan, jadi ayah merasa perlu melindungi saya dengan membuat saya merasa nyaman.
Kalau dari sosok ibu, saya belajar banyak mengenai kesabaran, keikhlasan, kesungguhan, kecintaan pada keluarga, dan banyak lagi sehingga membentuk saya yang sekarang. Mencintai keluarga, pantang menyerah, selalu semangat, tegar, dan kuat.
Ketika saya menikah dan memiliki anak, ayah saya yang membuatkan ranjang bayi dari bambu, membuatkan kerangka kelambu di kamar, bahkan ikut menjaga saya di rumah.
Sampai saya setua ini, ayah saya masih memberikan perhatian-perhatian, begitu juga ibu saya. Saya bahkan pernah dibuatkan meja makan hasil karya ayah saya. Padahal, ayah saya pensiunan Kementerian Pertanian yang tidak ada urusannya dengan furniture.
***
Entah karena berlaku hukum alam atau lazimnya, anak-anak saya yang perempuan juga dekat dengan ayahnya.
Dalam masa pernikahan saya yang baru 16 tahun ini dijalani, Alhamdulillah saya dikaruniai tiga putri yaitu Putik Cinta Khairunnisa (15 tahun), Annajmutsaqib Rahmasari (13 tahun), dan Fattaliyati Dhikra (9 tahun).
Saya sering menyampaikan kepada suami kehadiran ayah dalam pengasuhan sangat penting bagi tumbuh kembang anak. Apalagi saya sering mengikuti seminar pengasuhan dalam keluarga. Jadi, ilmu yang saya dapatkan saya sampaikan kepada suami.
Dalam seminar-seminar yang saya ikuti disebutkan anak yang mendapat kasih sayang yang tulus dari ayah dan ibunya, akan tumbuh menjadi anak yang cerdas dan sejahtera. Anak juga berpotensi dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan sosial.
Itu sebabnya, dari saya hamil dan melahirkan, hingga anak-anak sebesar sekarang ini suami selalu mendampingi. Di awal perkembangan usia, suami begitu berperan mengingat ayah adalah sosok pria pertama yang dikenal oleh anak-anak.
Waktu masih balita, anak pertama saya sering mengikuti cara berpakaian ayahnya, yang bajunya selalu dimasukkan ke dalam celana. Sementara saya lebih suka dikeluarkan.
Ketika saya masukkan, anak saya selalu menolak. "Dikeluarin aja bunda, aku pengen kayak daddy," katanya. Tak lupa ikat pinggang juga harus dikenakan seperti yang dilihat pada sosok ayahnya, meski hanya pergi bermain bersama teman sebayanya.
Bagi anak perempuan, ayah adalah lelaki pertama yang ia temui dalam hidupnya, bahkan mungkin cinta pertamanya. Apa yang ayah lakukan, bagaimana dia melakukannya, perilakunya kepada keluarga, dan semua hal kecil yang dia lakukan memengaruhi pola pikir anak-anak.
Mungkin karena kedekatan itu, suami masih saja menganggap anak-anak ya anak-anak yang masih kecil. Yang ingin selalu dipeluknya dan diciumnya, meski anak pertama dan kedua saya suka tidak mau.
Barangkali karena merasa sudah beranjak besar, jadi malu mendapat perlakuan seperti itu. Kalau yang kecil sih senang-senang saja tanpa ada pemberontakan.
"Waktu kecil kan kakak sering daddy cium-cium, peluk-peluk, gendong-gendong, ingat nggak, kenapa sekarang nggak mau. Daddy kan sayang banget sama anak-anak daddy, semuanya anak kesayangan daddy," kata suami tertawa.
Suami saya termasuk tipe ayah yang selalu memenuhi permintaan anak-anak, meski saya sudah memberi sinyal "tidak perlu dan tidak penting" atau "belum saatnya". Tapi karena sayang dan perhatiannya pada anak-anak ya tetap saja dibelikan.
"Daddy, kakak minta dibeliin PS 4," pinta anak pertama saya.
"Daddy, aku mau ganti hp, hpku udah jelek ini," kata anak kedua saya.
"Daddy, aku minta dibeliin sepeda baru, sepedaku udah rusak," si kecil tidak mau kalah.
Permintaan anak-anak semua dipenuhi meski dalam rentang waktu berbeda. Biasanya sih anak-anak mintanya ke saya, tetapi saya selalu alihkan, "Minta ke daddy aja," kata saya.
Kalau saya lebih cenderung memenuhi kebutuhan nutrisi dan fashion, seperti baju, sepatu, tas, dan pernak perniknya. Tapi itu pun dengan catatan "yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan". Jadi, harus disesuaikan dengan kebutuhan.
Anak-anak saya lebih mendengar dan lebih menurut apa yang dikatakan ayahnya daripada saya. Ya didengarkan juga sih, tapi responnya tidak secepat kalau suami yang berbicara.
Misalnya, ketika saya mengingatkan anak-anak untuk shalat, responnya masih santai. Tapi ketika suami yang mengingatkan anak-anak langsung gerak cepat hahaha...
Saya selalu menekankan pada suami sebagai ayah harus bisa memberikan contoh yang baik pada anak-anak. Karena dari keteladananlah, anak-anak akan menjadi pribadi-pribadi tangguh yang sayang pada ayahnya.
Ya tidak dipungkiri juga, hubungan ayah dan anak-anak tidak selalu berjalan mulus. Ada juga ketegangan, terutama ketika anak-anak tidak mendengarkan nasihatnya, namun semua masih dalam batas kewajaran.Â
Saya sering mengingatkan suami saya (termasuk ke diri saya) untuk tidak mendidik anak-anak dengan kekerasan, apapun bentuknya, karena akan mempengaruhi psikologi tumbuh kembang anak.
Sebagai istri, ya saya bersyukur suami bisa dekat dengan anak-anak, melindunginya, mengayominya. Di tengah kesibukannya masih bisa menyediakan waktu buat anak-anak. Entah untuk olahraga bareng, mengantarkan atau menjemput anak-anak, makan bersama, liburan keluarga, dan banyak lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H