Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Samariun, Inovasi Batan Atasi Nyeri pada Pasien Kanker

20 Oktober 2020   21:45 Diperbarui: 21 Oktober 2020   07:01 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini adalah obat Samarium-153 EDTMP (etilen diamin tetra metil fosfonat) hasil inovasi Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka (PTRR) Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Obat ini untuk terapi paliatif kanker bagi pasien atau penyintas kanker. 

Hebatnya, inovasi tersebut masuk ke dalam Top 45 Inovasi Layanan Publik dalam Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) yang diselenggarakan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB) pada Juli lalu. Batan sendiri lembaga yang berada di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi.

Selasa (20/10/2020) tadi saya pun berkesempatan mengunjungi PTRR Batan yang berada di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Kawasan ini juga berada di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi.

Saya tidak sendiri. Ada sekitar 10 kawan yang juga mendapatkan undangan dari Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Mapiptek) -- komunitas yang saya ikuti, bekerjasama dengan Batan untuk mengetahui lebih dekat hasil-hasil inovasi PTRR Batan, khususnya terkait pengobatan kanker.

Sebelum mengunjungi PTRR, kami disambut Kepala Batan Prof. Dr. Ir. Anhar Riza Antariksawan beserta Kepala Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka, Dr. Rohadi Awaludin dan Kepaala Bagian Humas BATAN Purnomo.

Dalam kesempatan itu, Bapak Anhar menjelaskan, teknologi nuklir telah dimanfaatkan di berbagai sektor kehidupan, salah satunya kesehatan. Pemanfaatan radioisotop di bidang kesehatan telah banyak dirasakan oleh masyarakat, khususnya bagi penyintas kanker. 

Namun, sayangnya, Radioisotop dan Radiofarmaka di Indonesia saat ini masih didominasi oleh produk impor, padahal Indonesia memiliki kemampuan untuk memproduksi sendiri.  

Terlebih Reaktor Serbaguna yang kita miliki kapasitasnya lebih besar daripada reaktor yang ada di Australia, tapi Australia menjadi salah satu negara produsen radioisotop terbesar di dunia. 

"Inilah yang sedang Batan upayakan, yaitu agar angka impor yang tinggi bisa kita turunkan," katanya. 

Mengapa Batan begitu konsern pada penanganan penyakit kanker karena prevalansi kanker di Indonesia meningkat cukup tinggi. 

Berdasarkan Survei Kesehatan Kementerian Kesehatan pada 2013 -- 2018 penderita kanker cukup tinggi. Jika pada 2013 ada 1,4 per 1000 penduduk menjadi 1,8 per 1000 penduduk, atau naik sekitar 30 persen. Mayoritas penderita kanker di Indonesia terdeteksi sudah pada stadium lanjut.

"Pada tahun ini dan tahun-tahun berikutnya diperkirakan jumlahnya meningkat seiring dengan meningkatnya gaya hidup tidak sehat dan tidak banyak bergerak," terang Rohadi.

Kepala Batan Prof. Dr. Ir. Anhar Riza Antariksawan (tengah) saat memberikan keterangan (Dokpri)
Kepala Batan Prof. Dr. Ir. Anhar Riza Antariksawan (tengah) saat memberikan keterangan (Dokpri)
Itu sebabnya, peran radioisotop dan radiofarmaka sangat diharapkan untuk menjadi solusi dalam penyelesaian masalah kanker. 

Pemanfaatan Radiofarmaka di dunia mayoritas memang digunakan untuk onkologi (penyakit kanker), yang mencapai lebih dari 50%, disusul cardiology (penyakit jantung), baru pemanfaatan lainnya seperti thyroid, dan lain sebagainya.   

Penggunaan Samarium-153 diklaim lebih efektif dibanding dengan morfin. Pengobatan dengan morfin, pasien masih merasakan sakit sehingga tidak bisa beraktifitas. Selain itu, juga berdampak mengganggu kesadaran dan memberikan efek ketagihan.

Berbeda dengan Samariun rasa sakit itu tidak akan dirasakan. Pasien dalam stadium lanjut pun masih bisa beraktifitas tanpa harus merasakan sakit yang berlebihan dan tanpa rasa kantuk yang begitu berat sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya. 

Terlebih berdasarkan data WHO, penderita kanker pada stadium lanjut sebanyak 66% atau 2/3 mengalami nyeri akibat kanker yang telah metastasis ke tulang. Karenanya, diperlukan pereda nyeri untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.

Dan, itu artinya, obat Samariun dapat menggantikan morfin. Selain itu, lebih efektif dan memberikan nilai ekonomi yang lebih besar kepada pasien karena bisa lebih menghemat biaya pengobatan.

Bisa jadi saya salah satu pasien yang sudah merasakan manfaat obat Samariun mengingat kanker payudara yang saya idap waktu itu, sel kankernya juga sudah menyebar ke beberapa ruang tulang. 

Selama menjalani pengobatan sih saya tidak merasakan sakit, masih bisa beraktifitas ke sana ke sini, masih sering juga penugasan ke luar kota. Terlihat dari luar sih seperti orang sehat pada umumnya. 

Arif Iman Nugroho,Kasubag Persuratan, Kepegawaian dan Dokumentasi Ilmiah, memperlihatkan Samariun hadil inovasi Batan (Dokpri)
Arif Iman Nugroho,Kasubag Persuratan, Kepegawaian dan Dokumentasi Ilmiah, memperlihatkan Samariun hadil inovasi Batan (Dokpri)
Usai memberikan pemaparan selama 1 jam lebih itu, kami pun mengunjungi PTRR dan diterima oleh Bapak Arif Iman Nugroho, Kasubag Persuratan, Kepegawaian dan Dokumentasi Ilmiah.

Di sini, saya dan kawan-kawan mendapatkan penjelasan jika Samariun sudah banyak dimanfaatkan oleh berbagai rumah sakit. Di antara RSCM Jakarta, RS Hasan Sadikin Bandung, RS Karyadi Semarang, Siloam MRCC Jakarta, RS Harapan Kita Jakarta, RS Kanker Dharmais Jakarta, dan banyak lagi.

"Obat Samariun ini lebih efektif dibanding morfin yang harus digunakan setiap hari, sementara Samariun sekali dalam sebulan, bahkan bisa dipakai dalam rentang waktu 3 bulan sekali. Bisa dibandingkan keunggulannya," terangnya.

"Penggunaan Samarium-153  untuk pasien kanker memberikan manfaat yang besar, walaupun masih harus diobati namun dapat meningkatkan kualitas hidup pasien," tambahnya.

Karena obat ini mengandung radiasi, maka harus dikemas dalam wadah khusus. Botol obat dimasukkan ke dalam kontainer yang beratnya bisa berkilo-kilo. Untuk 1 botol ukuran kecil ini pembungkus kemasannya bisa mencapai lebih dari 3 kg. Saya coba mengangkatnya ternyata berat juga. 

Kontainer ini pun harus kuat dan tahan dalam segala benturan. Jadi, jika dalam perjalanannya kendaraan mengalami kecelakaan, misalnya, obat-obat ini masih dalam keadaan aman dan tidak pecah yang dapat membahayakan orang-orang di sekitarnya. Pengirimannya pun harus dalam pengawalan ketat.

Batan sendiri bukan yang memproduksi secara massal, melainkan sebagai pihak yang melakukan penelitian. Pihak yang memproduksi secara massal adalah industri farmasi, dalam hal ini PT. Kimia Farma.

Ketika ditanya satu botol kecil itu bisa untuk berapa kali pemakaian, ia tidak bisa menjelaskan. Segala keputusan pengobatan sepenuhnya wewenang dokter dan rumah sakit karena setiap pasien bisa jadi berbeda-beda dosisnya. 

Kami pun diajak mengelilingi lab dan memasuki ruang hot cell. Di ruang inilah obat yang semula tidak ada radiasinya diberikan radioisotop. Sebelumnya, botol-botol yang berisi cairan obat ini dimasukkan ke dalam tabung khusus, baru diproses untuk diberikan radiasi melalui mesin khusus.

Sejatinya, bukan hanya ini saja hasil inovatif Batan di bidang kesehatan. Batan juga berhasil menemukan pengobatan dan alat mendeteksi untuk penyakit lainnya. 

Hebat kan...pokoknya tak kalah hebat dengan negara lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun