"Bun, kaka mau main ke rumah Anin," kata anak pertama saya, Putik Cinta Khairunnisa, meminta ijin. Anin adalah teman sekelasnya yang juga sering main ke rumah.
"Mau ngapain?" tanya saya.
"Mau liat demo," jawabnya sambil nyengir.
"Ngapain liat demo, bahaya, nggak usah. Ntar kaka kenapa-napa lagi. Belum waktunya. Kamu itu masih kecil, masih anak-anak," kata saya.
"Ya kan berdua, orang cuma liat doang, kaka juga nggak ngapa-ngapain," katanya.
"Nggak usah kak, yang ada ntar ditangkap polisi kaya Aa Rasyid, ditahan di kantor polisi," kata saya.
Saya tidak tahu, anak saya meminta ijin benar-benar mau lihat aksi demonstrasi atau sekedar iseng bertanya ingin mengetahui reaksi saya? Apakah melarang atau membolehkan?
Dan, Rasyid yang saya sebutkan tadi adalah keponakan saya, yang berarti sepupuan dengan anak saya. Anak sulung abang pertama saya ini, September 2019 lalu sempat ditangkap dan ditahan aparat kepolisian saat terjadi kericuhan demonstrasi mahasiswa yang menolak pengesahan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di depan gedung DPR/MPR.
Keponakan saya ini pelajar STM di kawasan Depok yang ingin melihat situasi demonstrasi lebih dekat. Ia diajak kawan rumahnya. Kebetulan, pas dia sampai di Stasiun Palmerah, saat itu terjadi kericuhan. Meski dia tidak memakai seragam, dia tetap ditangkap.
Padahal, saat santer adanya informasi gerakan aksi mahasiswa yang akan mengepung gedung DPR/MPR, Dinas Pendidikan Kota Depok sudah menginstruksikan kepala sekolah untuk mencegah anak didiknya ikutan demo.
Pihak kepolisian juga sudah melakukan sweeping di sekitar terminal Depok dan sejumlah stasiun kereta untuk menghalau balik para pelajar yang ketahuan akan ke Jakarta. Nah, keponakan saya ini luput dari pengawasan aparat kepolisian.
***
Tadi pagi, ibu wali kelas anak pertama dan anak kedua saya memberikan maklumat yang isinya anak-anak dilarang ke luar rumah.
Assalamualaikum, wr wb
Bpk dan ibu orang tua/wali murid mohon  agar siswa tdk ada yg keluar rumah untuk hari ini, karena info nya akan ada demo kembali