Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Wedang Jahe dan Filosofinya yang Membumi

11 Oktober 2020   14:27 Diperbarui: 14 Oktober 2020   11:29 3707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi wedang jahe. (sumber: shutterstock)

Bagi saya, wedang jahe bukan sekadar minuman tradisional yang diwariskan secara turun temurun. Ada filosofi di dalamnya. Bagaimana jahe tetap merendah di bawah tanah, tak mau menonjolkan diri ke atas agar terlihat oleh orang-orang. Ia tetap membumi memberikan manfaat bagi sekitarnya.

Saya pun jadi belajar pada "filosofi hidup" jahe, yaitu "memberikan kepada orang lain sesuatu yang baik, tanpa mereka harus tahu apa isi di dalamnya." Kalau diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka filosofi ini saya artikan sama dengan "tangan kanan memberi, tangan kiri tidak perlu mengetahui."

Wedang jahe yang hangat ini memberikan simbol kehangatan, yang menuntun kita, khususnya saya, untuk memberikan kehangatan kepada yang lain. Bisa senyuman hangat, pelukan hangat, suasana hangat, atau sambutan hangat.

Sebagaimana wedang jahe yang hangat, kehangatan yang kita berikan kepada orang lain akan menghangatkan jiwa kita. Jika jiwa kita hangat, akan membuat hidup kita jadi lebih bermakna seperti wedang jahe yang memberikan banyak khasiat bagi tubuh.

Perenungan saya mengenai wedang jahe ini pun terbuyarkan ketika para peserta pelatihan diminta untuk memperkenalkan diri masing-masing. Karena masih pandemi Covid-19, jumlah peserta pun tidak banyak. Hanya sekitar 17 orang saja. Meski jumlah pesertanya sedikit, suasana yang tercipta terasa hangat, sehangat wedang jahe.

Menurut kawan saya yang berasal dari Jawa, wedang juga memiliki makna "ngawe-ngawe kadang". Ngawe-ngawe sama dengan memanggil untuk mendekat.

Maka ngawe-ngawe kadang berarti merajut persaudaraan dengan berinisiatif "memanggil-manggil". Sehingga yang dari tidak saling mengenal menjadi saling mengenal dalam persaudaraan. 

Dengan kata lain, kita berusaha dan berupaya untuk merawat persaudaraan. Yang sudah terjalin dijaga. Yang belum terjalin ya dimulai.

Saya jadi membayangkan wedang jahe di jaman nenek moyang kita, yang bisa jadi saat menyelesaikan satu pertikaian dengan cara "diplomasi wedang jahe", yang lantas kehangatannya meluluhkan sehingga terajut persaudaraan.

Sepertinya begitu sehingga tetap membumi hingga sekarang....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun