Polri dan pemerintah sudah menghimbau masyarakat untuk menahan diri agar tidak melakukan unjuk rasa di tengah pandemi Covid-19, mahasiswa dan buruh tak mengindahkan. Ibarat pepatah "anjing menggonggong kafilah berlalu".
Bagaimana mau didengar, DPR saja dihimbau untuk menahan diri agar tidak mengesahkan UU Cipta Kerja di tengah pandemi Covid-19, ya tetap saja ngotot, DPR tetap mengetuk palu di tengah ketegangan dan ketidaksepakatan antarfraksi.
Dalam kesenyapan di tengah malam. Bagaimana mau didengar? Masyarakat diminta menahan diri untuk tidak demonstrasi, tapi DPR dan pemerintah tidak menahan diri untuk tidak mengesahkan UU itu. Ya, kan tidak adil namanya. Kalau mau adil, ya sama-sama dong menahan diri. Bukan hanya seruan kepada satu pihak. Bukan begitu?
Ya kan ironis pemerintah dan DPR bersikukuh mengesahkan aturan itu di tengah berbagai kritik dan aksi penolakan dari berbagai kelompok di banyak kota dan provinsi. Jadi, jangan salahkan rakyat kalau akhirnya turun ke jalan memprotes.
Kemarin, Kamis (8/10/20) saya ada dua agenda kegiatan yang harus saya hadiri di dua lokasi yang berbeda, yaitu sekitar Thamrin, Jakarta Pusat, dan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Saya memutuskan mengikuti agenda ini juga karena ingin mengetahui situasi terkini Jakarta dan sekitarnya.
Dalam perjalanan saya di dua lokasi itu saya menjumpai mahasiswa dan buruh berkumpul (yang sepertinya) di titik kumpul yang sudah ditentukan.
Saya sudah bisa memastikan, para massa ini akan kembali melanjutkan aksinya menolak UU Cipta Kerja yang disebutnya UU Cilaka.Â
Terlebih saya membaca spanduk besar yang terpasang di body mobil dengan tulisan "Pengadilan Rakyat Bersatu". Mereka berkumpul tak begitu jauh dari Stasiun Gondangdia. Waktu menunjukkan pukul 12 siang.
Dalam orasinya sambil menunggu rekannya yang lain, mereka ternyata tidak hanya sekadar unjuk rasa turun ke jalan, tetapi juga tengah mengupayakan jalur gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dan mendesak Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mengagalkan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Dalam perjalanan pulang menuju lokasi berikutnya, di depan Hotel Saripan Pasifik, Thamrin, saya menjumpai mahasiswa berkonvoi. Arahnya menuju Monas. Saya sudah bisa menduga massa akan menyemut di sekitar Istana Merdeka. Jika aparat menghadang, paling mentok di sekitaran Monas seperti ketika saya ikutan demonstrasi 212 lalu.
Jangan harap mereka bisa patuh menerapkan protokol kesehatan. Apalagi yang namanya saling menjaga jarak. Susah. Di tengah ribuan massa mana ada jaminan bisa menjaga jarak? Memangnya lagi antri?