Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

"Resesi" Supir Angkot, Siapa yang Peduli?

4 Oktober 2020   19:02 Diperbarui: 4 Oktober 2020   20:04 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah Indonesia sudah memasuki gerbang resesi ekonomi? Kalau berkaca pada apa yang disampaikan para pakar dan juga sinyal kuat dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahwa Indonesia bulan ini resesi, berarti sepertinya iya.

Bulan September lalu yang menjadi akhir dari kuartal III-2020 tetap mengalami kontraksi ekonomi, seperti yang sudah terjadi sebelumnya di kuartal II-2020 yakni minus 5,32%. Tidak ada pergerakan menunjuk angka yang lebih baik.

Ketika orang-orang "sibuk" membicarakan resesi yang kapan terjadi, tapi bagi Asep, supir angkot D05 jurusan Terminal Depok - Bojonggede, yang terkadang hanya sampai Stasiun Citayam, "resesi" sudah terjadi sejak pandemi Covid-19 meluluhlantakkan berbagai sektor kehidupan.

Pendapatannya lambat laun terkoreksi mirip pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ia menjalankan roda angkot ibarat "hidup segan, mati tak mau". Apalagi setiap "menarik" penumpang, nyaris tidak membuat perekonomiannya bergerak naik.

Kondisi ini semakin diperparah dengan pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) proporsional di Kota Depok yang kembali diberlakukan mulai 30 September hingga 27 Oktober 2020.

Baginya, ketika pendapatan mengalami penurunan yang cukup signifikan dalam kegiatan ekonomi yang sudah dialaminya selama berbulan-bulan, sudah menandakan perekonomian keluarganya mengalami "resesi".

"Saya mah udah ngalamin resesi kapan tau bu. Nggak ujug-ujug bulan ini," katanya saat saya meminta pandangannya terkait dampak resesi ekonomi pada pendapatannya atau kegiatan ekonominya, tiga hari lalu ketika saya akan ke Stasiun Citayam.

Ia mengalami "resesi" karena kesulitan mendapatkan penghasilan gara-gara penumpang sepi akibat pandemi Covid-19. Kondisi ekonominya pun kian terjepit. Dan, ini berdampak pada sulitnya memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Kebiasaan saya kalau naik angkot ya begini sambil menunggu penumpang, saya sering ajak ngobrol si abang supir. Obrolan yang ringan-ringan saja. 

Meski saya agak kesal karena angkot "ngetem" agak lama, saya kan tidak mungkin juga memarahi supir angkot yang tetap setia menunggu penumpang. Namanya juga lagi mencari rejeki.

Ia bisa memaklumi adanya PSBB diperpanjang untuk menekan angka penyebaran Covid-19 yang terus meninggi. Jadi, dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain tetap menarik angkot. Ada penumpang atau tidak ada penumpang, ia tetap harus bekerja.

"Yaaa boros bensin dong itu mah," kata saya. "Mau gimana lagi bu, kondisinya sekarang begini," ujarnya. Dia mau protes, tapi buat apa? Semua mengalami hal yang sama meski kadarnya berbeda.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Kalau uang di tangan habis untuk bahan bakar, apa yang bisa dia dapat? Apalagi sifat transportasi umum kan mengikuti mobilitas masyarakat. Jika masyarakat banyak tidak bepergian, tentu berimbas pada kinerja angkutan umum yang  menurun.

Kondisi yang sama juga tampaknya dirasakan oleh supir yang lain. Saya naik dari Stasiun Citayam, di jam sore sepulangnya saya menuntaskan agenda pekerjaan. Setelah menunggu sekian lama, tidak ada penambahan penumpang yang cukup berarti.

Sepertinya, tanpa ditanya pun, saya sudah bisa membaca kegelisahannya. Berulang kali membunyikan klakson untuk mengajak penumpang naik, tidak cukup mampu menarik penumpang yang keluar dari Stasiun Citayam untuk naik. Bagaimana kalau akhirnya saya dijemput suami pakai motor? Pasti penumpangnya jadi berkurang.

David, supir angkot dengan trayek yang sama, juga harus banting setir. Mencari strategi lain agar mampu bertahan hidup. Di saat ia tidak menarik angkot, ia pun beralih menjual aneka roti buatan keponakannya yang ia jajakan setiap Kamis atau Sabtu. Jadi, tidak tiap hari.

Ia sering mengirimkan pesan mengenai jualannya. "Buat diantar Kamis, nda," kata teman bermain saat saya SMP ini. Ia adalah anak tetangga ibu saya.

Saya pun lantas memesan sesuai permintaan anak-anak. Rasanya tak tega. Membayangkan kalau saya berada dalam posisi yang sama. Sepertinya dengan cara ini saya bisa membantunya.

Ya ya ya..., angkot kian terjepit, siapa yang peduli? Sebelum pandemi mewabah saja nasibnya seperti "Senin Kamis", apalagi saat sekarang? Sudah 6 bulan berlalu Covid-19 masih belum juga teratasi, hidup supir angkot jadi "kembang kempis".

Saya perhatikan, nyaris sulit menyaksikan angkot-angkot yang melaju dengan penuh penumpang. Sekalipun supir sudah menunggu sekian lama. Di jam-jam sibuk sekali pun hanya segelintir penumpang.

Banyaknya angkot yang wara-wiri dengan rute yang sama juga membuat jumlah penumpang kian sedikit dalam kondisi seperti ini. Penumpang angkot telah mengalami penyusutan signifikan.

Kondisi ini juga semakin "diperparah" dengan semakin banyaknya masyarakat yang memiliki motor untuk aktifitas sehari-harinya. Atau juga memakai jasa ojek online yang menjemput dan mengantarkannya sesuai titik. Membuat angkot pun kian terpinggirkan, kian tergerus.

Sekarang, di saat aktivitas dan mobilitas masyarakat kian dibatasi, maka angkot pun semakin terpuruk. Masa depan angkot seolah-olah sedang dipertaruhkan: mati atau tetap dibiarkan hidup dalam keterpurukan? Lantas, siapa yang peduli?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun