Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Filosofi Hidup Jakob Oetama yang Saya Ikuti

12 September 2020   13:21 Diperbarui: 12 September 2020   20:51 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jakob Oetama tutup usia pada Kamis (10/9) pada usia ke 88 tahun di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta. Selanjutnya, jenazah dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, pada Kamis (10/9). (Foto: KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

"Bun..., bunda... pak Jakob Oetama pemilik Kompas meninggal dunia," kata suami saat saya tengah mengetik di kamar seraya menghampiri saya.

Mendengar perkataan suami, jelas saya sedih atas kepergian Tokoh Pers Nasional itu. Sosok yang bersahaja.

"Ini aku diminta kantor untuk kirim karangan bunga," kata suami sambil menghubungi toko bunga langganan kantornya.

Kebetulan suami saya bekerja di bagian Corporate PR and Media Relations PT Siloam International Hospitals, milik Lippo Group, yang selalu berelasi dengan pemilik media massa.

Bos Lippo, Muchtar Riadi, yang juga bos suami saya, berkawan karib dengan Jakob Oetama. Suami saya pernah mendampingi Muchtar Riadi menemui Jakob Oetama.

Kebetulan juga ketika suami masih menekuni profesinya sebagai wartawan, beberapa kali kesempatan berjumpa dengan Jakob Oetama.

Jadi berita wafatnya Jakob Oetama (88) di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (9/9/ 2020), meninggalkan duka di hati suami dan saya.

Saya baru sempat menulis sosok beliau hari ini karena saya tidak menemukan buku tentang beliau. Judul bukunya: "Bekerja dengan Hati".

Maksud saya, saya ingin mengupas beliau dari buku itu. Setelah berkali-kali saya cari di rak buku tidak ditemukan juga. Entah hilang, entah dipinjam. Aduh, teledor banget sih saya.

Terus terang, saya  tidak mengenal Pak Jakob Oetama secara pribadi. Saya mengenal kepribadiannya dari cerita tokoh-tokoh pers yang itu juga sambil "menguping". Saya juga mengenal sosoknya dari berbagai literatur yang saya baca.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Saya memang pernah bertemu beliau dalam suatu kesempatan. Seingat saya ketika ada bedah buku di Bentara Budaya, Palmerah. Tapi entah kapan itu. Lupa. Sepertinya ketika di awal-awal saya bekerja.

Pertemuan saya ya sebatas antara beliau sebagai yang punya hajat dan saya sebagai undangan. Saya tidak sempat berfoto dengannya karena saya malu dan minder. Merasa saya "kecil" dan "bukan siapa-siapa".

Padahal, harusnya tidak begitu ya. Justeru kalau saya berfoto dengannya bisa  menjadikan motivasi saya untuk kelak bisa seperti beliau. Apalagi orangnya baik. Penampilannya juga sederhana, tidak menunjukkan bahwa dirinya "bos".

Bicaranya lemah lembut dan bersahaja. Kalau bicara  runtut sehingga saya yang mendengarkan bisa paham tanpa harus mengernyitkan dahi. Begitu kesan pertama saya saat berjumpa dengannya.

Saya memang tidak mengenalnya secara pribadi. Tapi siapa yang tidak kenal dengan surat kabar Kompas? Saya yakin tak ada satu pun orang di Indonesia ini, bahkan dunia yang tidak tahu dengan surat kabar ini.

Orang-orang mengidentikkan surat kabar ini dengan sosok Jakob Oetama. Termasuk saya. Kompas ya Jakob Oetama. Jakob Oetama ya Kompas. Ya, dari tangan dingin Jakob Oetama-lah koran Kompas mendulang ketenaran dan kesuksesan hingga sekarang.

Koran ini selalu menjadi rujukan banyak orang untuk mencari informasi. Meski sempat dihantam isu yang menyerempet agama (dan saya sempat juga termakan isu ini. Dulu...ketika masih muda), Jakob Oetama tetap berdiri kokoh. Kuat bagaikan karang.

Melalui jurnalisme Kompas yang khas, Tokoh Pers ini secara konsisten mampu menunjukkan jika misi jurnalisme tidak hanya sekadar untuk menyampaikan informasi kepada para pembaca, tetapi memiliki misi yang lebih dari itu.

Misi pokok dari para jurnalis adalah untuk mendidik dan mencerahkan hati nurani anak bangsa. Beliau bahkan menyebutkan gaya jurnalismenya yang khas itu disebut dengan ''jurnalisme makna.''

Meski Kompas media besar, namun isi pemberitaannya tidak melulu mengenai orang-orang kaya. Kisah-kisah orang-orang terpinggirkan dan miskin papa juga tak luput dari bidikannya. Ini yang membuat Kompas mendapat tempat di hati masyarakat.

Saya masih ingat beliau pernah bilang, untuk mencapai segala sesuatu memang tidak mudah, memerlukan kesabaran dan konsisten yang terus dijaga untuk mengadapi segala rintangan.

Dalam mencari sebuah berita kita juga tidak bisa seenaknya, namun berita yang akan kita cari harus beradasarkan fakta dan aktual agar mucul sikap saling percaya antara pembaca dan sang penulis berita.  

Ia memang sangat mencintai profesinya sebagai wartawan. Ia pernah berujar, 'Wartawan adalah profesi, pengusaha adalah keberuntungan." Baginya, bekerja itu bukan mencari nafkah, namun menjadi bagian dari ekspresi diri.

Filosopi hidup inilah yang saya ikuti. Karena saya bekerja bukan mencari jenjang karir, melainkan sebagai upaya saya mengekpresikan diri dan mengeksplor potensi saya. Yang sudah 25 tahun ini saya geluti dan saya nikmati.

Selamat jalan pak Jacob Oetama. Segala kebaikan dan kesederhanaanmu akan selalu dikenang oleh saya, oleh masyarakat, oleh Indonesia. Bangsa ini sungguh beruntung memiliki sosok Jacob yang mengayomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun