Saya teringat kepingan kenangan saat saya sering naik kereta ekonomi belasan tahun lampau. Saat kereta tak sebaik dan senyaman sekarang ini. Saat penumpang penuh sesak dan bercampur dengan para pedagang.
Saat itu, kereta ibarat toko berjalan. Macam-macam penjualnya. Dari penjual minuman gelas, gorengan, makanan, sampai baju, bahkan ada yang menjual kursi segala. Teriakan "yang haus, yang haus, yang haus" selalu ada di sepanjang gerbong. Pokoknya paket komplit plus berbaur dengan pencopet dan pengamen.
Suatu ketika kereta yang saya naiki tiba-tiba berhenti. Tentu saja dengan suara decitan rem dari masinis. Karena tiba-tiba tanpa pemberitahuan, jelas penumpang terdorong ke depan bersamaan dengan laju kereta yang berhenti. Ada yang mengaduh kesakitan, ada yang meringis, ada yang menangis. Tangan saya sampai biru karena terbentur besi.
Beruntungnya, tidak sampai ada penumpang yang terhempas ke luar mengingat pintu kereta saat itu tidak berfungsi karena diganjal penumpang. Biasanya yang melakukan itu para pria. Biar bisa duduk di pintu sambil menikmati hembusan angin, sambil mengobrol, sambil mengisap rokok.
Melalui pengeras suara masinis pun meminta maaf seraya mengumumkan penumpang yang menarik tuas rem mendadak untuk segera menginformasikan petugas. Maksudnya, biar petugas bisa segera mengetahui di gerbong berapa rem mendadak itu ditarik. Jadi, penanganannya tidak membutuhkan waktu lama.
"Ooohhh gara-gara ada yang narik rem mendadak yak. Huuuuuu siape itu. Ayo ngaku aje siape!" teriak penumpang. Tidak pria, tidak perempuan menyuarakan hal yang sama.
Terkadang ada yang mengaku. Terkadang ada juga yang tidak mengaku. Nah yang tidak mengaku ini yang membuat perjalanan kereta yang makin lama terhambat. Butuh waktu lebih dari 30 menit untuk menuntaskan permasalahan ini karena petugas harus mengecek setiap gerbong.
Saya mengibaratkan DKI Jakarta sebagai kereta yang disesaki penumpang. Persis seperti penumpang kereta ekonomi yang saya tumpangi. Banyak profesi yang menaiki kereta ini.
Kereta ini pun laju aktifitasnya terhenti saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memutuskan untuk menarik tuas rem darurat sebagai pertanda ada bahaya. Menghentikan laju aktifitas demi keselamatan nyawa banyak penumpangnya.
Bahaya yang dimaksud apalagi kalau bukan penyebaran Covid-19 yang sudah dalam taraf mengkhawatirkan. Bayangkan saja kasus Covid-19 di DKI Jakarta menyentuh 1.000 penderita per hari (seperti tulisan saya Tidak Disiplin, Penanganan Covid-19 Ibarat "Mati Satu Tumbuh Seribu (Kasus Positif)". Belum lagi tingginya angka kematian, dan menipisnya kapasitas fasilitas kesehatan.
"Dalam rapat tadi sore disimpulkan kita akan menarik rem darurat, kita terpaksa kembali menerapkan pembatasan skala besar seperti masa awal pandemi. Bukan PSBB transisi, tapi PSBB sebagai mana masa dulu. Ini rem darurat yang kita tarik. Maka, dengan melihat kedaruratan ini tidak banyak pilihan Jakarta menarik rem darurat sesegera mungkin," ujar Anies dalam konferensi pers digelar secara daring, Rabu (9/9).
Kebijakan PSBB yang kemudian dilanjutkan PSBB transisi memang menjadi salah satu upaya Pemprov DKI untuk menekan laju penyebaran virus corona. Namun, faktanya dalam beberapa hari terakhir, justru jumlah kasus positif Covid-19 mencatatkan rekor penambahan tertinggi.
Karenanya, Anies Baswedan kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) total mulai Senin, 14 September 2020. Orang-orang menyebutnya dengan PSBB jilid II.
Keputusan Anies dengan menarik tuas rem mendadak ini, jelas menimbulkan kegaduhan, mirip kegaduhan di dalam kereta saat ada yang menarik tuas rem mendadak.Â
Ada yang marah, ada yang menangis, ada yang mengaduh karena terbentur sesuatu. Semua bercampur menjadi satu. Tapi, Alhamdillah semua penumpang tidak mengalami cedera yang berarti. Nyawanya masih selamat.
Nah, seperti itulah saya membaca upaya yang dilakukan Anies untuk menyelamatkan banyak nyawa manusia. Meski terkesan baru siuman atas alarm bahaya, setidaknya Anies berusaha menjaga jangan sampai angka kasus positif dan angka kematian bertambah. Yang bisa jadi, ia akan menjadi sasaran kemarahan atau dibully masyarakat.
Gara-gara banyak masyarakat dan perusahaan yang tidak mengindahkan protokol kesehatan Covid-19 memaksa Anies mengambil keputusan yang tidak populis. Ibarat pepatah "karena nila setitik rusak susu sebelanga".Â
Daripada banyak nyawa yang melayang oleh lawan yang tidak kasat mata, ya lebih baik lebih baik. Anies pun tak memikirkan dirinya yang terus menjadi sasaran bully atas keputusannya itu.
Dan ini berarti, semua orang akan kembali ke rumah. Bekerja dari rumah, beribadah dari rumah (MUI juga sudah mengimbau untuk beribadah dari rumah), belanja dari rumah.Â
Aktifitas bekerja, berproduksi, berbelanja, dan ekonomi lainnya dipaksa berhenti kembali. Kondisi ini tentu akan berdampak luas kepada perekonomian mengingat DKI Jakarta menjadi pusat penopang perekonomian Indonesia.
Bagi saya, keselamatan dan kesehatan masyarakat lebih penting daripada lebih mengutamakan pemulihan perekonomian. Ya karena percuma juga, perekonomian menggeliat tetapi jumlah pasien positif Covid-19 meningkat. Uang akan terkuras juga untuk menangani yang sakit. Belum lagi penularannya yang masif.
Bagaimanapun, sektor ekonomi tidak dapat berjalan penuh selama pandemi Covid-19 ini belum dapat diatasi. Untuk menyelesaikan krisis ekonomi, kita perlu mengatasi krisis kesehatan terlebih dahulu. Tidak apa-apa kita harus mundur selangkah, tapi setelah itu kita bisa maju dua langkah, tiga langkah, bahkan bisa lebih dari itu.
Mau tidak mau, suka tidak suka, keputusan Anies Badwedan harus kita lakukan agar ke depan kita bisa melangkah lebih baik lagi. Agar masyarakat dan perusahaan juga menyadari kesalahannya yang tidak disiplin menerapkan protokol kesehatan Covid-19.
Itulah mengapa disiplin menerapkan protokol kesehatan Covid-19 menjadi kunci agar ke depan langkah kita bisa menjadi lebih ringan untuk bisa maju bukan dua langkah lagi, bahkan bisa berlari mengejar harapan yang lebih baik, mampu mengejar ketertinggalan pertumbuhan perekonomian. Â
Insyaalaah jika kita disiplin, semua akan kembali berjalan normal. Deal ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H