Heboh soal film pendek "Tilik" yang viral. Â Film ini adalah pemenang untuk Kategori Film Pendek Terpilih pada Piala Maya 2018, Official Selection Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2018, dan Oficial Selection World Cinema Amsterdam 2019.
Film ini diproduseri oleh Elena Rosmeisara, dengan sang sutradara Wahyu Agung Prasetyo, dan penulis naskah Bagus 'Bacep' Sumartono.
Tadi pagi saya membaca status WA kawan saya yang menautkan link youtube untuk film berdurasi 30 menit itu. Dia memasang emoticon tertawa ngakak menandakan film itu lucu. Karena penasaran, saya pun mengklik tautan itu.
Apa yang menarik, apa yang lucu?
Setelah menonton, saya kecewa. Di awal saya sangat terhibur dengan akting Bu Tejo yang diperankan oleh Siti Fauziah atau Ozie. Aktingnya bagus. Mungkin karena memang ia sering pentas dalam teater. Ditambah suasana alam yang menghijau, jadi enak dilihat. Teknik sinematografi juga bagus.
Tapi terus terang, saya kecewa setelah menonton film itu. Sepanjang film isinya hanya bergunjing alias ngegosip. Sosok Bu Tejo yang tidak henti-hentinya bergosip mengenai seorang perempuan muda, single dan belum menikah yang bernama Dian.
Yang membuat saya miris "masa iya, seorang perempuan berkerudung ngegosip"? Kalau satu, dua, tiga kali percakapan sih tidak masalah. Masih bisa saya tolerir. Tapi ini selama 30 menit seluruh cerita menonjolkan Bu Tejo yang menguasai pergosipan.
Dalam pemahaman saya, biasanya perempuan berhijab menjaga omongannya. Tidak ngegosip atau ghibah. Apakah senegatif itu? Apakah kenyataannya seperti itu? Apakah film ini tidak menggiring opini bahwa perempuan berjilbab juga tukang gosip? Padahal tidak begitu kan?
Ya memang, ada juga yang suka bergosip ala Bu Tejo, yang katanya diangkat berdasarkan realitas. Tapi apa iya sepanjang perjalanan isinya ngegosip saja tentang sosok bernama Dian?
Ada juga peran Yu Ning, yang berusaha menetralisir dan mengajak Bu Tejo dan ibu-ibu lain, agar tak mudah percaya gosip. Tapi tetap saja tidak mempan. Mungkin karena Yu Ning masih ada hubungan kerabat Dian jadi omongannya tidak diindahkan. Dan, Bu Tejo yang menguasai "panggung".
Saya sama herannya ketika menonton film Roh Fasik yang diperankan Irwansyah, Zaskia Sungkar, Evan Sanders. Ada tokoh Renata yang diperankan Denita Wiraguna. Perempuan berhijab panjang dan bergamis tapi main ke dukun untuk mendapatkan cinta Evan Sanders. Kok di luar logika saya ya.
Sama seperti film "Tilik" ini. Kok perempuan berkerudung begitu? Ini pertanyaan pribadi saya ya sebagai sesama perempuan berhijab dan seorang ibu seperti Bu Tejo. Saya menontonnya ya sambil ngedumel
Bagaimana perasaan ibu-ibu berjilbab yang jauh dari keinginan nyinyir, gosip dan tak banyak bicara ketika menonton film ini ya? Apakah sama dengan saya? Atau bagaimana pandangan orang yang menonton film ini terhadap perempuan berhijab ya?
Apakah pembuat film ini ingin menunjukkan meski berjilbab tetap saja perempuan suka bergosip? Jelas saya sedih. Lewat film ini seakan ingin menguatkan stereotype bahwa ibu-ibu meski berjilbab juga penyuka gosip, tukang nyinyir, dan mudah percaya gosip.
Apakah sedemikian mudahnya dan sedemikian piciknya Bu Tejo yang berkerudung "menghakimi" perempuan yang tak berjilbab dan single berperilaku tak benar tanpa mengecek kebenarannya? Apa iya kehidupan di desa masih berpikiran sesempit itu di jaman yang sudah modern seperti sekarang ini?
Yang bikin saya tambah kecewa ending film ini, yang justeru menempatkan Yu Ning sebagai pihak tersalah karena dituduh  menyebarkan "hoax" soal ibu Lurah yang sakit parah tanpa mengecek kebenarannya. Sampai disindir oleh Bu Tejo. Padahal Bu Tejo sendiri juga menyebarkan cerita soal Dian tanpa dicek kebenarannya.
Jadi apa yang ingin disampaikan pembuat film ini? Katanya si pembuat film untuk mengedukasi masyarakat agar tidak termakan hoax tapi menurut saya tujuannya tidak sampai. Bu Tejo yang menyebarkan hoax tapi kenapa Yu Ning disalahkan?
Harusnya kan fair. Bu Tejo dan Yu Ning sama-sama disentil, meski "kesalahan dan dosa" Yu Ning tidak separah Bu Tejo. Sampai film ini benar-benar habis yang ditampilkan wajah Yu Ning yang kuyu dan sedih. Menunjukkan Yu Ning sebagai pihak "berdosa", sementara wajah Bu Tejo penuh ceria dan tertawa bahagia.
Sosok Dian yang menjadi sumber utama gosip juga tidak ditampilkan utuh. Hanya selintas. Perempuan muda, single, belum menikah, tidak berjilbab dan tetap digambarkan "perempuan tidak baik-baik". Tidak ada klarifikasi soal gosip yang dibicarakan Bu Tejo benar atau tidak.
Jadi, sekali lagi nilai apa yang ingin disampaikan dan apa tujuan yang ingin dicapai melalui cerita dengan Bu Tejo sebagai tokoh utama?
"Kami sebenarnya tidak ingin ada stereotype lain dalam film ini tentang pelakor, tapi kembali kami membebaskan interpretasi penonton melihat film. Namun, ada pesan tentang perempuan yang bisa mandiri untuk memilih apa yang diinginkan tanpa embel-embel laki-laki. Dasarnya adalah, produser, penulis, sutradara punya ibu single semua. Meski janda semua, tapi ternyata ibu kami bisa hidup tanpa ada laki-laki, dan mereka punya kemerdekaan atas dirinya sendiri," kata sang sutradara beralasan.
Tapi menurut saya, alasan yang disampaikan tetap saja tidak tersampaikan, karena sosok Dian yang di dalam film tidak dijelaskan secara utuh. Masih bias. Ngeblank.
Ya sudahlah. Itu haknya pembuat film. Tapi sebagai penonton saya juga berhak kan untuk mendapatkan tontonan yang "lebih baik".
*maafkan, saya bukan kritikus film
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H