"Kakak Putik, Kakak Najmu, Adelia, ntar sore kita olahraga berenang di rumah Mama Mitha ya," kata suami, Minggu (9/8/2020) siang, kepada anak-anak kami.
Mama Mitha yang dimaksud adalah kakak pertama suami saya, yang berarti kakak ipar saya. Di kompleks rumah kakak ipar saya memang ada fasilitas kolam berenang yang diperuntukkan bagi warga kompleks dan keluarganya.
Mendengar ajakan suami, saya lantas menolaknya. "Jangan. Nggak usah. Ngapain sih pakai berenang. Depok sekarang masuk zona merah soalnya," kata saya yang seketika menghentikan ketikan saya.Â
Kebetulan tempat tinggal saya dan kakak ipar saya berada di wilayah yang sama: Depok yang kini berzona merah. Kan jadi "ngeri-ngeri sedap".
"Oh begitu ya. Jadi nggak usah aja? Soalnya Kak Mitha ngasih tahu kolam berenang sudah ada yang berenang-berenang," kata suami.
"Daripada kenapa-kenapa mending nggak usah. Senang-senang sih senang-senang, tapi kalau resikonya bisa terkena Covid, yang repot kita semua," kata saya.
Saya jadi heran dan bingung, sejak Depok -- bersama 13 wilayah lainnya, ditetapkan sebagai zona merah penyebaran covid-19 pada 6 Agustus, warga Depok kok sepertinya malah tidak ada takut-takutnya.Â
Lha itu buktinya, warga kompleks rumah kakak ipar saya yang berada di sekitar Brimob Kelapa Dua Depok malah asyik melakukan aktifitas berenang. Apa tidak ada petugas yang mengingatkan?
Padahal Kota Depok menjadi satu-satunya wilayah di Jawa Barat yang berstatus zona merah Covid-19 setelah sebelumnya sudah memasuki zona kuning. Berarti kasus Corona di sini mengalami penambahan yang cukup tinggi.
Aktivitas di Kota Depok tetap berjalan seperti biasa saja. Masih banyak masyarakat yang tidak mematuhi imbauan pemerintah untuk menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker dan menjaga jarak saat berada di tempat umum.
Apakah warga memang sudah secuek itu? Apakah Covid-19 sudah tidak menakutkan lagi? Apakah data mengenai kematian akibat Covid-19 tidak membuat mereka waspada karena bisa jadi suatu ketika akan tertular? Apakah warga tidak merasa takut dengan risiko kesehatan jika terkena Covid-19?
Kalau saya perhatikan sejak new normal diberlakukan banyak yang tidak mawas diri lagi. Buktinya, waktu saya pulang dari RS Hermina Depok dengan menumpang angkot, beberapa penumpang tidak mengenakan masker dan tidak ada jarak.Â
Harusnya, sebagaimana yang juga diterapkan di kereta dan bus, penumpang angkot juga perlu dibatasi. Tempat duduk diberi silang. Ya memang akan berdampak pada penghasilan supir. Tidak dibatasi saja penghasilan sangat minim, bagaimana jika dibatasi? Di sinilah peran Pemkot Depok diperlukan untuk mencari solusi yang tepat.
Ada juga yang asyik menelepon dengan tanpa masker. Kalau di kereta nih, penumpang yang kedapatan menelepon atau saling mengobrol akan ditegur oleh petugas. Larangan ini untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Masa harus ada petugas dulu baru disiplin?
Banyak juga yang memakai masker tapi tidak pada fungsinya. Masker hanya menempel di dagu atau tergantung di leher. Hanya sebagai aksesoris. Yang lebih miris lagi, saya masih sering melihat ada orangtua yang membawa anaknya yang kecil keluar rumah tanpa masker. Entah di angkot, entah di motor. Apa mereka tidak kasihan pada anaknya?
Saya saja melarang anak saya yang kecil ikut saya meski untuk sekedar berbelanja ke depan kompleks atau ke warung. Walaupun anak saya bersikeras bilang "kan pakai masker", tetap saya tidak mengizinkan. Â Siapa yang bisa menjamin anak saya tidak tertular?
Di kompleks rumah saya juga saya temui beberapa pedagang ada yang tidak memakai masker. Saling ngobrol dan sesekali disertai gelak tawa. Ketika diingatkan, ya dianggap angin lalu. Apa harus terkena dulu baru sadar?Pemkot Depok juga harus lebih serius dalam penanganan Covid-19. Harusnya, adanya pengawasan ketat yang dilakukan oleh aparat jika ada warganya abai menerapkan protokol kesehatan Covid-19.
Memang sih ada petugas, tapi masih terbatas karena tidak semua titik ada petugas. Jadi ketika ada razia banyak yang lolos. Selain itu, petugas juga kurang tegas saat merazia. Harus ada sanksi yang bisa membuat efek jera.
Terlebih Presiden Joko Widodo sudah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2020 tertanggal 4 Agustus 2020 tentang Peningkatan Disipilin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.
Saya sih setuju jika pelanggar protokol kesehatan memang harus diberi sanksi -- sosial, denda, penjara, karena ini menyangkut kesehatan bersama. Jika ia abai berarti dia sudah berlaku dzolim pada sesama. Sudah mengancam keselamatan orang lain. Dan agama juga tidak membenarkan hal ini.
Terlebih masyarakat diminta untuk mewaspadai klaster baru yaitu dari klaster keluarga. Ini bisa saja terjadi karena ada keluarga yang pulang bekerja tidak menerapkan protokol kesehatan. Ketika tiba di rumah lalu menularkan kepada keluarganya.
Karena itu, penting menjaga kebersihan ketika kita keluar rumah dan kembali masuk ke rumah dan bertemu dengan anggota keluarga.
Saya saja kalau habis keluar rumah, sampai di rumah saya melarang anak-anak saya untuk mendekat, meminta mereka untuk menjauhi saya. Setelah mencuci tangan pakai sabun, saya langsung mandi lalu berganti pakaian, baru deh bisa berdekatan lagi.
Kita memang harus disiplin menerapkan protokol kesehatan Covid-19 mengingat kitalah sebagai garda terdepan untuk melawan virus ini. Harus juga bisa menahan diri dari kegiatan-kegiatan atau aktivitas yang memicu adanya kerumunan.
Buat kebaikan dan kesehatan bersama, mengapa tidak bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H