Siapa bilang kanker payudara hanya menimpa kaum perempuan. Kalangan pria pun bisa terkena. Memang angka kejadiannya sedikit. Dari 100 pasien yang terkena kanker payudara, 1 di antaranya adalah pria, selebihnya perempuan. Tapi bukan berarti kaum pria jadi santai dan tidak mawas diri. Tetap harus menjaga pola hidup sehat.
Pak Luthfi, teman sesama pasien kanker payudara di RS Hermina Depok, salah satu buktinya. Saya dan pak Luthfi ini sama-sama pasien dr. Rachmawati Spesialis Bedah dan Onkologi. Dari sekian banyak pasien kanker payudara yang ditangani dr. Rachma, pak Luthfi ini menjadi satu-satunya pasien pria. Selebihnya ya kaum perempuan.
Seperti halnya saya, pak Luthfi juga harus menjalani sesi kemoterapi mengingat sel kanker sudah menyebar ke beberapa ruas tulang. Ketika pertama kali berjumpa dengannya, saya juga terheran-heran, kok bisa pria terkena kanker payudara? Apa gaya hidupnya tidak sehat?
Kalau kata Dr. dr. Sonar S. Panigoro, SpB(Onk), M.Epid, MARS, Kepala Departemen Medik Ilmu Bedah FKUI-RSCM, meski pria tidak punya payudara, tapi pria memiliki jaringan payudara. Jadi juga berpotensi terkena kanker. Dan, ini yang tidak disadari oleh banyak orang, termasuk pria.
Kanker payudara pada pria lebih berisiko tinggi menyebabkan kematian daripada jika terjadi pada wanita. Mengapa? Karena kesadaran di kalangan pria lebih rendah dan cenderung mengabaikan gejala kanker payudara sehingga terlambat dalam mencari pengobatan.
"Saat kanker terdeteksi secara klinis, jumlah sel kanker biasanya sudah melebihi 1 milyar sel," kata konsultan di Klinik Hayandra dalam webinar Penatalaksanaan Terkini Kanker Payudara dan Kanker Kolorektal, yang saya ikuti secara online, Minggu (9/8/2020).
Bagaimana seorang pria bisa terkena kanker payudara? Waktu saya bertanya kepada pak Luthfi, dia juga tidak tahu. Menurut pengakuannya, pola hidupnya cukup sehat. Terlebih dia juga seorang guru karateka. Dia tidak merokok, tidak minuman beralkohol, tidak bergadang, banyak beraktifitas/bergerak. Pokoknya hidup sehatlah secara isterinya adalah seorang dokter yang tentu saja lebih paham bagaimana menerapkan pola hidup sehat.
Kalau faktor keturunan, juga tidak. Seperti halnya saya yang dari keluarga saya tidak ada riwayat kanker payudara (entah kalau nenek buyut dan generasi sebelumnya), demikian juga dengan pak Luthfi. "Saya juga heran kenapa bisa kena," katanya.
Kata dr. Sonar, hanya 20 persen kanker payudara karena faktor keturunan, justeru yang 80 persen tidak diketahui sebabnya, namun umumnya lebih terkait dengan pola gaya hidup yang tidak sehat. (Mengingat saya dan pak Lufthi menerapkan gaya hidup sehat, sepertinya menjadi pengecualian).
Sebagaimana pada perempuan, kanker payudara pada pria biasanya muncul berupa benjolan keras di bawah puting dan areola. Benjolan yang muncul terasa keras, padat, tidak bergerak, dan terkadang tidak menimbulkan rasa sakit. Sama seperti saya, meskipun benjolan itu teraba oleh saya, saya tidak merasakan sakit.
Kalau untuk gejala lain seperti puting payudara tertarik ke dalam, keluar cairan dari puting, mengeras dan membengkaknya puting atau area sekitar puting, bisa juga disertai perubahan warna puting menjadi lebih merah, serta munculnya ruam atau luka di sekitar puting yang tidak kunjung sembuh, mungkin tidak semuanya mengalami, mengingat saya tidak mengalami gejala seperti itu.
Makanya awalnya saya merasa yakin tidak terkena kanker payudara. Eh ternyata malah positif. Nah, kalau pak Luthfi, dia mengaku ada luka di sekitar puting, tapi tidak menyangka kalau itu ternyata kanker payudara.
Sebagaimana namanya, kanker payudara terjadi pada area payudara. Disebabkan adanya pertumbuhan sel kanker di jaringan payudara. Pertumbuhan sel abnormal dan tidak terkontrol tersebut menyebabkan adanya benjolan yang disebut sebagai tumor.
Karena terjadi di area payudara, maka perempuan berpotensi terkena kanker payudara. Meski perempuan tersebut sudah ganti kelamin menjadi pria dan membuang payudaranya, dia tetap berpotensi terkena. Walaupun banyak terjadi pada perempuan, namun faktanya ada juga pria yang terkena.
Karenanya, dr. Sonar menegaskan pentingnya deteksi dini pada kanker payudara. Dengan deteksi dini, diharapkan kanker payudara ditemukan pada stadium awal sehingga penderita dapat terhindar dari tindakan kemoterapi dan radiasi.
Semakin kecil stadium, semakin cepat diatasinya. Stadium itu berarti tingkat keganasan. Mulai dari stadium 0, stadium 1, stadium 2A, stadium 2B, stadium 3A, stadium 3B, dan stadium 4. Kalau stadium 0 dan stadium 1 benjolan masih kecil dan sel kanker tidak menyebar ke organ lain. Penanganannya bisa dengan bedah atau pengobatan hormonal.
Stadium 2A sampai stadium 3B, benjolan mulai membesar dan sudah menyebar. Umumnya menyebar ke Kelenjar Getah Bening (KGB) di dekat ketiak. Penanganannya biasanya dengan bedah, radioterapi, kemoterapi, dan obat hormonal seperti yang saya jalani.
Sementara stadium 4 ditandai dengan pecahnya benjolan dan sudah menyebar ke organ lain seperti hati, paru-paru, otak, dan organ lainnya. Selain ditangani dengan terapi terstandar: bedah, radioterapi, kemoterapi, juga dilakukan tindakan lainnya. Biasanya kalau sudah stadium lanjut seperti ini peluang hidup semakin rendah.
"Kalau dideteksi lebih awal, penanganan dengan bedah, radioterapi, kemoterapi atau kombinasi semuanya, bisa dihindari. Sebagaimana kita ketahui, penanganan dengan kemoterapi dan radioterapi bisa menimbulkan efek yang bagi sebagian orang cukup menyiksa. Semakin cepat terdeteksi juga semakin besar peluang hidupnya," tuturnya.
Doktor bidang ilmu biomedik, Dr. dr. Karina, SpBP-RE, yang juga CEO Klinik Hayandra dan HayandraLab, mengatakan, penyakit kanker memerlukan berbagai macam modalitas terapi. Ia pun mempelajari multimodalitas terapi ini saat mengobati ibundanya yang terkena kanker pada 2006.
Salah satu yang dipelajarinya di Jepang adalah mengenai sel pertahanan tubuh (sel imun), di mana berbagai sel imun alami seperti sel T, sel NK dan sel NKT dari darah penderita sendiri (terapi autologus), ternyata bisa diaktifkan dan diperbanyak di laboratorium cGMP seperti HayandraLab.
Sel imun yang aktif dan dalam jumlah yang cukup akan sangat membantu penderita kanker padat (solid cancer), termasuk saat melakukan terapi terstandar seperti operasi, kemoterapi dan radiasi. Teknik Immune Cell Therapy (ICT) yang diambil alih dari Jepang ini juga telah dibuktikan lebih superior dalam mencapai hasil akhir berupa jumlah sel imun dan keaktifan yang lebih tinggi, dibandingan dengan beberapa teknik dari negara lain seperti Amerika dan Kanada. Â
Â
Bahkan, setelah dilakukan pengulangan terapi, jumlah sel imun yang meningkat tersebut masih mampu dipertahankan sampai 1 tahun setelah terapi. Hal ini tentunya sangat berguna dalam mencegah rekurensi dari kanker tersebut," katanya saat berbicara dalam kesempatan yang sama.
Imam Rosadi, M.Si, Scientific Director HayandraLab Jakarta, menyampaikan, riset yang terus berkembang di bidang medis menelurkan banyak teknologi baru di bidang kanker, termasuk untuk deteksi dini pada kanker. Salah satunya dengan pemeriksaan DNA.
"Setiap individu memiliki variasi DNA, di mana sebagian dari variasi tersebut berpotensi meningkatkan risiko kanker. Untuk meredam tingginya risiko kanker tersebut, maka perlu dilakukan pencegahan dengan mendeteksi kanker melalui pemeriksaan DNA," terangnya dalam kesempatan yang sama.
Salah satu teknologi mutakhir untuk deteksi dini kanker pada DNA adalah menggunakan teknologi HY-Gene, genetic-related disease test dari HayandraLab. Ini adalah teknik in house pertama di Indonesia yang menerapkan Next Generation Sequencing (NGS) yang berasal dari California, Amerika Serikat.
Metode NGS ini telah digunakan oleh banyak negara maju untuk Human Genome Project (HGP). Teknologi yang digunakan oleh HayandraLab ini sangat sensitif dan akurat untuk mendeteksi adanya mutasi yang terkait dengan penyakit pada DNA. Dengan teknik ini, DNA akan dibaca berulang sebanyak 300 kali agar menghasilkan hasil yang valid dan lebih reliable atau dapat dipercaya.
 "Hanya dengan 3 mL darah, DNA  dapat dianalisis dan potensi risiko terhadap 74 jenis kanker serta lebih dari 40 sindrom dan disorder pada tubuh dapat diketahui. Hasil analisis ini tentunya akan membantu masyarakat untuk melakukan langkah pencegahan secara dini," tutur Imam.
Semoga saja, seiring dengan kemajuan teknologi kedokteran, semakin cepat kanker dan penyakit lainnya segera terdeteksi. Tak lupa, kita juga harus mawas diri, menjaga pola hidup sehat (tidak stres, tidak merokok, tidak minuman beralkohol, tidak bergadang, makan makanan sehat dan bergizi, rutin olahraga atau banyak gerak) agar bisa terhindari dari penyakit yang identik dengan kematian ini.Â
Yang menerapkan pola hidup sehat saja bisa kena (seperti saya dan pak Luthfi), bagaimana yang tidak?Â
Semoga kita semua selalu dalam keadaan sehat wa'alfiat dan selalu dalam penjagaan Allah, Tuhan yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Aamiin...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H