Hari ini, Hari Mangrove Sedunia. Tiba-tiba saja saya teringat perjalanan "dinas" saya ke Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan di Kota Tarakan, Kalimantan Utara, pada Kamis (23/8/2018). Mungkin karena mangrove dan bekantan tidak bisa saling terpisahkan dan ada ikatan "batin" yang kuat di antara dua makhluk karya agung Sang Pencipta itu, jadi ingatan saya pun kembali ke sini.
Berikut catatan perjalanan saya.Â
Penerbangan saya dari Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Banten, ke Bandara Tarakan, Kalimantan Utara, selama 2,5 jam saya isi dengan tidur dan makan. Menu nasi omelet dan sosis habis juga saya makan, meski sebenarnya saya tidak suka sosis. Saya isi juga dengan ngobrol, main game di hp, toilet, dan rebahan. Hahaha
Sayang, saya tidak mendapatkan seat dekat jendela, jadi saya tidak bisa foto-foto keindahan awan di kala mentari terbit di pagi hari mengingat pesawat mengudara pada pukul 4.20.Â
Biasanya, setiap berpergian dengan pesawat udara, terutama Garuda Indonesia Airways, saya selalu mendapatkan seat dekat jendela. Relasi yang mengajak saya sudah paham kalau saya sukanya duduk dekat jendela. Tapi waktu itu mungkin ada "sesuatu" yang entah apa?
Setibanya di Tarakan, Kalimantan Utara, kami (Direktur Utama Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan UMKM Bapak Braman Setyo, Sekretaris Dirut Mbak Devi, Humas Mas Anggit, dan saya) diajak ke Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) yang berada di jalan Gajah Mada.Â
Kebetulan jadwal menyeberang ke Tanjung Selor jam 11 siang. Jadi masih ada waktu untuk 'jalan-jalan' mengingat tiba di Bandara Tarakan pukul 7.30 pagi.Â
Tentunya, sebagai pendatang kami ditemani Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM Kaltara Bapak Hartono beserta dua stafnya yang perempuan. Dan, lucunya pak kadis ini ternyata baru pertama kali juga ke sini. Hahaha...
Bekantan si monyet hidung panjang ini ikon pariwisatanya Kota Tarakan. Begitu penjelasan Kepala Dinas saat mengajak kami. Hewan ini termasuk jenis Nasalis Larvatus. Karenanya, diajak ke sini, jelas saya semangat. Terlebih saya baru pertama kali ke kawasan ini.
Harga tiket masuk ke KKMB hanya Rp 5000 seorang, tapi untuk wisatawan asing HTM sebesar Rp50.000.
Kami pun diajak oleh petugas di sana melihat lebih dekat para bekantan makan pisang. Ini hanyalah makanan sampingan. Makanan utamanya ya daun-daun pohon mangrove atau juga pucuk bakau (Rhizophora racemosa) yang tumbuh subur di KKMB ini.
Pemberian makanan dilakukan pagi dan sore hari. Biasanya, bekantan yang senang hidup berkelompok itu akan mendatangi 'meja makan' sekitar jam 9 pagi dan 3 sore waktu setempat.Â
Saat kelompok bekantan ini makan akan terlihat aksinya yang unik, sebagian makan, sebagian lagi mengawasi sekitar. Ada tradisi unik saat menyantap makanan tambahan ini. Â Yaitu membiarkan anggota kelompok kecilnya makan terlebih dahulu. Sementara, ketua kelompoknya mengawasi keadaan sekitar guna memastikan tidak ada gangguan.
Pengunjung bisa melihat dari jarak cukup dekat, tapi sebaiknya jangan terlalu dekat kalau ingin memotret karena ternyata hewan ini termasuk pemalu. Bekantan menghabiskan sebagian waktunya di atas pohon dan hidup dalam kelompok-kelompok yang berjumlah antara 10 sampai 32 ekor. Begitu penjelasan petugas.Â
Menurut penjelasan petugas, pengembangan kawasan ini hasil inisatif dari Walikota Tarakan, yang saat itu, dijabat Yusuf Serang Kasim. Peresmiannya sendiri dilakukan pada 5 Juni 2003.Â
Kawasan ini selain berfungsi sebagai paru-paru Kota Tarakan juga sebagai benteng hijau untuk melindungi kota dari abrasi. Waktu itu, hanya ada dua bekantan yang mendiami kawasan ini.
Dijelaskan, si monyet hidung panjang ini hanya bisa hidup di hutan mangrove karena ya makanan utamanya daun mangrove. Saya tidak tahu apakah selama kawasan seluas 22 hektar itu berdiri daun-daun mangrove apakah pernah habis? Sayang, saya tidak menanyakan hal ini karena terpukau oleh perilaku para bekantan yang hewan asli Indonesia ini.
Yang jelas, kata petugas, agar bekantan ini tidak punah, maka kita harus menjaga mangrove. Seperti halnya yang sudah dilakukan para pendekar mangrove leluhur kita. Jangan sampai, apa yang sudah diperjuangkan menjadi sia-sia.Â
Hutan bakau sendiri sangat penting. Selain sebagai makanan pokok Bekantan, juga untuk menghindari terjadinya abrasi pantai, yang jika ini terjadi akan membuat beberapa daratan menghilang ditelan air. Manfaat lainnya sebagai penghalang alami untuk mengurangi dampak gelombang tsunami, Â dan sebagai zona penyangga untuk mencegah intrusi air laut ke sumber air tawar di dekatnya, dan masih banyak lagi manfaat lainnya.
Sayang, kami di sini tidak lama. Tidak sampai 1 jam karena harus mengejar penyeberangan ke Tanjung Selor. Kelak, kalau ke sini lagi, saya akan "bercengkrama" dengan bekantan sepuas-puasnya. Tunggu saya ya bekantan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H