Seingat saya, ketika saya ke mari untuk pertama kali, perjalanan mengitari Gunung Halimun Salak, Bogor, cukup menguras energi. Jalanan setapak yang dilalui begitu licin, terlebih jika hujan. Saya beberapa kali tergelincir karena tanjakan atau turunan yang curam, tapi selanjutnya sih enjoy.
Sekarang, ternyata penampakannya berbeda. Lebih "bersahabat". Entah sejak kapan. Jika dulu jalanan berbatu dan bertanah, sekarang jalanan setapaknya bersemen, rata, dan mulus sehingga memudahkan orang untuk tracking. Napas jadi tidak saling memburu. Anak-anak, bahkan orang tua sekalipun  aman dan nyaman menyusurinya.
Jika dulu waktu kemping tidak banyak pedagang, sehingga untuk makan saja harus memasak dengan membawa peralatan dan persediaan sendiri, sekarang tidak lagi. Nyaris di sepanjang jalan setapak berdiri warung yang menjajakan aneka gorengan, mie instan, minuman, dan banyak lagi. Namun tetap terjaga kebersihan dan kerapiannya.
Wah pokoknya benar-benar berubah tanpa harus merusak keindahan alam dan segarnya udara pegunungan. Semula ketika kemarin diajak ke sini, saya sudah membayangkan rasa lelah yang bercampur keringat plus napas yang tersengal-sengal. Eh ternyata tidak.
******
Opa Herman Lantang adalah salah satu pendiri Mapala UI dan pernah menjabat sebagai ketuanya pada 1972 -- 1974 (tahun ini sih suami saya belum lahir). Opa juga mantan Ketua Senat Fakultas Sastra UI pada tahun 60-an.
Kalau seingat saya sih saya baru pertama kali bersua dengan sahabat Soe Hok Gie ini. Kalau suami saya mungkin sudah sering karena setiap Mapala UI berulang tahun (12 desember) si opa sering menghadirinya. Dan mungkin juga sering melakukan aktifitas pendakian bersama secara sesama Mapala ui.
Oh iya, di pangkuan si opa, almarhum aktivis UI Soe Hok Gie menghembuskan napas terakhirnya di puncak Mahameru, Gunung Semeru, Jawa Timur pada 1969. Peristiwa ini menjadi bagian cerita dan antiklimaks dari film berjudul 'Gie'.
Di hari tuanya, opa yang pensiunan dari perusahaan minyak asing akhirnya memilih mengelola Herman Lantang Camp bersama Joyce Moningka, isteri tercintanya. Meski kini ia berjalan harus dibantu dengan tongkat karena faktor usia dan sakit, namun ia selalu tetap ceria.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H