Kondisi yang sama juga pastinya dialami guru sehingga membuat penilaian tugas jadi agak lama. Buruknya jaringan internet juga menyebabkan percakapan terputus hingga tatap muka secara virtual yang mengubah tatap muka menjadi tatap layar. (Di kota saja begini, bagaimana di daerah lain yang fasilitas dan infrastrukturnya kurang memadai?)
Untuk persoalan ini, pihak sekolah sudah melakukan pemetaan. Grade A untuk keluarga yang masing-masing anaknya memilili hp sendiri dengan fasilitas internet. Grade B untuk siswa yang harus bergantian handphone dengan adik atau kakaknya atau orangtuanya. Grade C yang tidak punya sama sekali handphone, tapi ini jumlahnya sangat sedikit. Dari pemetaan ini pihak sekolah bisa menentukan skenario pembelajaran yang tepat.
Dengan belajar di rumah, tentunya fungsi pengawasan dari guru berkurang. Beberapa anak mungkin kerap mencuri waktu melakukan kegiatan lain, sehingga tidak fokus mengerjakan tugas. Jadi peran orangtua sangat penting untuk mendampingi dan mengawasi anaknya belajar. (Bagaimana dengan yang orangtuanya bekerja, siapa yang mengawasi ya?)
Wali murid mengakui memberikan materi belajar secara online lebih sulit daripada tatap muka di kelas. Guru merasa kesulitan mengajak para siswanya untuk aktif, komunikatif bahkan di ruang diskusi yang sengaja diadakan. Sementara bagi siswa, kendala belajar melalui online membutuhkan daya tangkap yang cepat.
Baginya, pendidikan bukan hanya sekedar menyampaikan materi saja. Guru harus mengerti kondisi seluruh siswanya. Artinya, seorang guru mempunyai beban moril, apakah materi yang disampaikan benar-benar tersampaikan pada siswa atau tidak.
Persoalan lainnya terkait terbatasnya memori handphone/laptop/komputer. Mengirimkan tugas yang difoto atau video melalui perangkat gadget jelas akan membuat memori penuh. Dalam satu hari saja ada 3 matapelajaran. Bisa dibayangkan jika setiap hari tugas dikirim. Tak jarang "keluhan" datang dari hp/laptop yang hank. Belum lagi saat memeriksa tugas para siswa dari handphone yang bisa menguras energi, pikiran, dan waktu.
Untuk mengatasi persoalan ini maka disepakati siswa akan diberikan modul untuk pembelajaran sepekan. Lalu dikumpulkan di sekolah oleh orangtua atau koordinator kelas, sekaligus diberikan modul untuk sepekan berikutnya. Dengan cara begini, guru memberikan penilaian jadi lebih mudah. Dengan modul ini pula, guru, siswa dan orangtua bisa berinterasi lebih tepat sasaran.
Keberhasilan pembelajaran jarak jauh memang tidak lepas dari peran orangtua, guru, sekolah, dan murid. Karenanya, semua pihak harus bisa saling bersinergi demi kebaikan bersama.Â
Bagi saya, era new normal menjadi kesempatan saya sebagai orangtua untuk mengenal segala potensi anak. Sebisa mungkin tetap fokus pada pemenuhan hak anak dan membentuk karakter positif pada anak menjadi anak yang lebih disiplin dan bertanggungjawab. Bagaimana dengan yang lain?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI