Yang menjadi pertanyaan berikutnya, mengapa aparat sekelas Bareskrim Polri tidak segera menangkap buronan kelas kakap itu saat sudah masuk ke dalam markas besarnya? Yang ada malah dilindungi dan diberikan Surat Jalan.Â
Jadi, saya sependapat dengan Bung Neta S Pane (pernah menjadi atasan saya dan saat ini satu group WhatsApp) meski Brigjen Prasetyo Utomo sudah dicopot dari jabatannya, siapa di balik persekongkolan jahat itu ya tetap harus diusut tuntas!
Melihat kinerja Bareskrim Polri yang mengerikan ini, sudah saatnya Presiden Jokowi turun tangan mengevaluasi kinerja Bareskrim Polri. Sebab melindungi dan memberi Surat Jalan pada buronan kasus korupsi sekelas Djoko Tjandra sama artinya menampar muka Presiden Jokowi yang selalu menekankan pemberantasan korupsi di negeri ini.
Siapa lagi the next "korban"? Brigjen Nugroho Wibowo siap-siap saja. IPW meminta Brigjen ini juga dicopot dari jabatannya sebagai Sekretaris NCB Interpol Indonesia. Dari tangannyalah red notice Djoko Tjandra terhapus.Â
Dari penelusuran IPW "dosa" Brigjen Nugroho Wibowo sesungguhnya lebih berat ketimbang "dosa" Brigjen Prasetyo. Sebab melalui surat No: B/186/V/2020/NCB.Div.HI tertanggal 5 Mei 2020, Brigjen Nugroho mengeluarkan surat penyampaian penghapusan Interpol Red Notice Joko Tjandra kepada Dirjen Imigrasi.
Tragisnya, salah satu dasar pencabutan red notice itu adalah adanya surat Anna Boentaran tertanggal 16 April 2020 kepada NCB Interpol Indonesia yang meminta pencabutan red notice atas nama Djoko Tjandra. Surat itu dikirim Anna Boentaran 12 hari setelah Brigjen Nugroho duduk sebagai Sekretaris NCB Interpol Indonesia.
"Begitu mudahnya, Brigjen Nugroho membuka red notice terhadap buronan kakap yang belasan tahun diburu bangsa Indonesia itu," kata Neta geram.
Melihat fakta ini IPW meyakini ada persekongkolan jahat dari sejumlah oknum pejabat untuk melindungi si Djoko ini. Jika Mabes Polri mengatakan pemberian Surat Jalan pada Joko Tjandra itu adalah inisiatif individu Brigjen Prasetyo, IPW meragukannya. Sebab dua institusi besar di Polri terlibat "memberikan karpet merah" pada sang buronan, yakni Bareskrim dan Interpol. Kedua lembaga itu nyata nyata melindungi Djoko Tjandra.
Apa mungkin ada gerakan gerakan individu dari masing-masing jenderal yang berinsiatif melindungi Joko Tjandra? Jika hal itu benar terjadi, betapa kacaunya institusi Polri. Apa mungkin kedua Brigjen tersebut begitu bodoh berinisiatif pribadi "memberikan karpet merah" pada Joko Tjandra?
Kenapa Brigjen Nugroho yang baru duduk sebagai Sekretaris NCB Interpol begitu lancang menghapus red notice Djoko Tjandra. Apakah dia begitu digdaya bekerja atas inisiatif sendiri seperti Brigjen Prasetyo? Lalu, kenapa Dirjen Imigrasi tidak bersuara ketika Brigjen Nugroho melaporkan bahwa red notice Joko Tjandra sudah dihapus?
Ah...begitu banyak pertanyaan.