***
Menjadi PRT atau pekerja rumah tangga, siapa yang mau? Pekerjaan ini sering dipandang sebelah mata. Dalam dunia kerja dan sosial masih ada sikap dan pandangan serta penghargaan kodrati perempuan yang dimarginalkan terutama sebagai Pekerja Rumah Tangga.
Dulu PRT identik dengan sebutan babu, terdengar kasar, memang. Seiring waktu, sebutannya menjadi lebih "halus" lagi menjadi pembantu rumah tangga, kemudian berubah menjadi asisten rumah tangga.Â
Saya sendiri sebelumnya sering menyebutnya "pembantu" lalu beralih menjadi "asisten". Tapi ternyata penyebutan ini sudah dianggap "tidak manusiawi" lagi. Mungkin bagi mbak Iyah (dan mbak-mbak yang lain?) sebutan ini tidak terlalu penting selama ia nyaman dan diperlakukan manusiawi.
Kekinian, PRT diartikan menjadi Pekerja Rumah Tangga seiring bergulirnya RUU Perlindungan PRT, yang selama 16 tahun terus diperjuangkan oleh organisasi/LSM perempuan. Dan, besok (Senin, 13 Juli 2020) RUU PPRT ini akan dibahas di rapat paripurna DPR yang diharapkan diketok palu menjadi Undang-undang.
Terdapat sedikitnya 4,2 juta PRT yang bekerja di dalam negeri, termasuk mbak Iyah, di dalamnya. Adanya UU itu menunjukkan adanya pengakuan atas "profesi" PRT sehingga dapat mengurangi angka pengangguran, menghapus diskriminasi, eksploitasi dan perbudakan. Pengakuan ini juga menjadi jalan bagi PRT untuk bisa mengakses pendidikan dan pelatihan yang dapat meningkatkan potensi dirinya.
Giwo Rubianto Wiyogo, Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) -- organasisi federasi yang memayungi 97 organisasi perempuan di seluruh Indonesia, Â menekankan, Â saat ini, para PRT membutuhkan payung hukum yang dapat melindungi mereka. Karenanya, ia meminta DPR untuk segera mengesahkan RUU Perlindungan PRT. Â
Dalam pandangannya, PRT bukan lagi perbudakan jaman modern yang bekerja 24 jam mulai dari membukakan pagar hingga menjaga anak. PRT adalah profesi yang memiliki jasa yang tidak sedikit dalam pembangunan bangsa. PRT merupakan pekerjaan mulia, yang menjadi bagian integral pembangunan bangsa. Karenanya, ia mengajak semua pihak berjuang menjadikan RUU ini menjadi UU.
"Kami ingin PRT tidak ditinggalkan. Kehadiran PRT dalam kehidupan keluarga sangat penting. Karena PRT lah, banyak perempuan bisa berkarya di publik, bahkan menjadi pemimpin. Tanpa ada dukungan PRT di rumah, keluarga akan mengalami kesulitan dalam urusan domestik, apalagi bagi pasangan suami istri yang bekerja di ruang publik," tegasnya.
Komnas Perempuan sendiri menilai pengesahan RUU PPRT akan berdampak pada situasi perempuan yang lebih luas. Setidaknya dalam beberapa alasan. Pertama, memberi perlindungan relasi kerja dan kepastian hukum terhadap kedua pihak yaitu PRT dan Pemberi Kerja. Kedua, mengakui adanya nilai ekonomis dari kerja-kerja yang diidentikan sebagai kerja reproduktif perempuan.
Nilai ekonomis pekerjaan PRT tak hanya menopang ketahanan ekonomi keluarga pemberi kerja, tetapi juga mendukung perempuan pemberi kerja untuk berkarya secara lebih optimal di ruang publik. Ketiga, berarti adanya pengakuan dan perlindungan atas jenis pekerjaan yang saat ini didominasi oleh perempuan. Keempat, perlindungan secara konstitusional akan memberikan rasa aman bagi PRT dan Pemberi Kerja.