Ini mbak Iyah. Sudah 9 tahun ini setia membantu saya. Sedari anak bungsu saya masih bayi merah. Atas jasanya membantu saya, ia mendapat bayaran Rp 1,5 juta sebulan. Ini ukuran standar di kompleks rumah saya. Entah di tempat yang lain. Ia menjadi PRT yang paling lama bekerja pada keluarga saya. Sebelum-sebelumnya yang lain hanya bertahan 6 bulan hingga 1 tahun.
Semula, ada dua mbak yang membantu saya. Satu mengurusi anak-anak saya, terutama si kecil, ketika saya bekerja. Satu lagi mengurusi urusan domestik rumah tangga seperti memasak, mencuci, mengepel. Sayangnya, si mbak Ria, yang masih tetanggaan dengan mbak Iyah, diboyong oleh suaminya ke Aceh, menemani sang suami yang menjadi buruh perkebunan kelapa sawit. Ceritanya sih begitu ke saya.
Beberapa kali mendapatkan penggantinya, beberapa kali juga kerap diwarnai "pertengkaran" dengan mbak Iyah. Penyebabnya macam-macam. Katanya, si mbak "junior" banyak santainya, tidak mengurusi apa yang menjadi kewajibannya. Jadilah si mbak Iyah yang mengambil perannya.
Melihat situasi seperti ini, saya pun bertanya kepada mbak Iyah, apakah mau cari pengganti atau mau sendiri saja? Ternyata si mbak minta kerja sendiri saja. "Daripada berdua kerjaannya nggak bener, bikin kesal orang," katanya. Berulangkali saya memastikan dan menyakinkannya, ia selalu menjawab "sendiri saja".
Syukurnya saya bukan pekerja kantoran yang harus ke kantor pagi-pagi atau yang harus ke kantor setiap hari. Karena saya pekerja lapangan, jadi saya bisa mengatur jadwal saya sesuai agenda yang ditugaskan kepada saya. Saya pun punya waktu di pagi hari mengurusi anak-anak saya, menyiapkan sarapan hingga persiapan saat berangkat sekolah hingga anak-anak kini berusia 15 tahun, 13 tahun, dan 9 tahun.
Si mbak tidak menginap. Ditawari menginap ia tidak mau dengan alasan tidak ada yang mengurus anak-anaknya. Padahal anak-anaknya sudah besar semua. Alasan lainnya, ia punya keponakan yang harus diurusi. Rumahnya di belakang Stasiun Citayam. Jam kerjanya dari pukul 07.00 sampai pukul 17.00. Tapi terkadang tidak tentu juga, tergantung situasi. Di masa pandemi Covid-19 malah pulangnya lebih cepat dari biasanya. Hari Minggu dan Hari Libur Nasional, mbak Iya pun ikut libur.
Syukurnya, karena saya pekerja lapangan, jam pulang saya pun fleksibel. Saya lebih sering sampai di rumah sebelum maghrib. Terkadang lebih cepat. Kalau saya terpaksa harus pulang malam, maka suami saya akan pulang lebih awal. Kalau suami pulang malam, maka saya yang pulang lebih awal.
Kalau saya dan suami terpaksa harus pulang malam, maka saya kadang meminta tolong ibu saya untuk menjaga anak-anak saya. Kebetulan rumah ibu saya hanya berbeda kecamatan. Jadi mbak Iyah bisa pulang sesuai jadwalnya. Tapi ini sangat jarang terjadi. Setelah anak-anak beranjak besar, anak-anak pun bisa ditinggali tanpa perlu dijaga mbak. Saya tinggal memantaunya lewat handphone.
Karena sudah lama, si mbak saya anggap seperti keluarga. Saya tidak pernah memarahinya sekalipun ada kesalahan yang dibuatnya semisal baju kesayangan saya yang baru saya beli dengan harga lumayanlah buat ukuran saya bolong terkena setrika. Atau ketika ia memecahkan tempat sayuran yang terbuat dari keramik. Kalau ia sakit, saya tidak memaksanya untuk masuk. Terkadang suami saya memberinya uang untuk berobat meski si mbak pemegang Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Menurut saya, mbak Iyah termasuk yang beruntung jika dibandingkan dengan kasus yang dialami para PRT yang lain. Banyak yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi seperti yang saya ketahui dari berita-berita. Ada juga yang mengalami penyiksaan dan upahnya tak dibayarkan. Miris, bukan?
Saya tidak tahu, kalau saya tidak dibantu oleh mbak. Mungkin urusan rumah bisa berantakan dan pusing kepala saya. Apalagi urusan rumah tidak ada berhentinya hingga malam. Ada saja yang harus dikerjakan.