Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Setelah 16 Tahun Berlalu, Berharap RUU Perlindungan PRT Disahkan menjadi Undang-undang

5 Juli 2020   22:06 Diperbarui: 5 Juli 2020   22:16 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Enam belas tahun sudah Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) belum juga disahkan menjadi undang-undang. Perjalanan yang cukup panjang nan melelahkan. Menguras banyak waktu, energi, biaya, dan pikiran. 

RUU Perlindungan PRT sebenarnya sudah ada sejak 16 tahun lalu yaitu dimulai pada 2004 dan sudah menjadi prioritas DPR sejak 2010-2014. Namun, selama 16 tahun itu pula nasib RUU tersebut "terkatung-katung" bak layangan putus.

Waktu 16 tahun itu sama lamanya dengan usia pernikahan saya. Selisih dengan anak pertama saya saja cuma 1 tahun. Berarti anak saya dan RUU PPRT itu bagaikan "adik kakak". Kalau diibaratkan anak saya, "usia" 16 tahun itu masa-masa indahnya remaja. Lantas apa yang bisa dirasakan "indah" oleh RUU PPRT?

Meski "digantung" dan "terkatung-katung" sekian lama oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), organisasi perempuan --  Komnas Perempuan, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Maju Perempuan Indonesia,  Koalisi Perempuan Indonesia, dan Kongres Wanita Indonesia (Kowani), yang mengawal perjalanan RUU PPRT kini bisa sedikit bernapas lega. 

Mengapa? Karena RUU PPRT saat ini sudah menjadi RUU usul inisiatif DPR pascadisetujui Badan Legislasi (Baleg) DPR pada rapat Panja RUU PPRT, Rabu (1/7/2020). Jika sudah ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR, maka terbuka jalan agar RUU tersebut dibahas secara bersama-sama dengan pemerintah. Dan, semakin besar peluang untuk segera disahkan menjadi undang-undang saat digelar rapat paripurna membahas RUU PPRT pada 13 Juli 2020. Ya, bisa menjadi suatu keniscayaan!

Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Dr. Ir. Giwo Rubianto Wiyogo, M.Pd, sangat berharap RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga segera menjadi UU. Selama 16 tahun "mengawal" Kowani terus memperjuangkan agar segera disahkan menjadi undang-undang. Kowani begitu peduli karena sebagai perempuan sering menjadi korban diskriminasi. 

"Dalam dunia kerja dan sosial masih ada sikap dan pandangan serta penghargaan kodrati perempuan yang dimarginalkan terutama sebagai Pekerja Rumah Tangga," tuturnya saat menyampaikan pandangannya dalam pertemuan daring "RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Jelang Rapat Paripurna DPR 2020, Minggu (5/7/2020). Pertemuan yang saya ikuti ini juga dihadiri perwakilan dari organisasi-organisasi perempuan.

Diskiriminasi yang dimaksud tak lain dan tak bukan terkait cara pandang masyarakat terhadap PRT. Selama ini masyarakat (mungkin juga saya) mengartikan PRT sebagai pembantu rumah tangga atau asisten rumah tangga, bukan pekerja rumah tangga. 

Adanya pandangan ini karena PRT lebih banyak dianggap sebagai pekerja domestik, yang sifatnya membantu keluarga. Padahal penyebutan "pembantu" ini secara tidak langsung merendahkan harkat dan martabat dirinya sebagai manusia dan sebagai perempuan. 

"Ya kan aneh pekerja asing yang bekerja di sini dilindungi, sementara pekerja rumah tangga kenapa tidak?" ucap Giwo yang pernah menjabat Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ini. Terlebih lagi jumlah PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta. Dari angka ini 84 persennya adalah perempuan dan sebanyak 14% dari angka tersebut anak di bawah usia 18 tahun. (data Survey ILO).  Dari angka itu, sekitar 60-70% dari 9 juta pekerja migran Indonesia di luar negeri juga berprofesi sebagai PRT (Bank Dunia, 2017).

"Kami ingin PRT tidak ditinggalkan. Kehadiran PRT dalam kehidupan keluarga sangat penting. Karena PRT lah, banyak perempuan bisa berkarya di publik, bahkan menjadi pemimpin. Tanpa ada dukungan PRT di rumah, keluarga akan mengalami kesulitan dalam urusan domestik, apalagi bagi pasangan suami istri yang bekerja di ruang publik," tegasnya. 

Lita Anggraini dari JALA PRT, juga menyampaikan harapan yang sama agar pembahasan dapat segera disahkan menjadi undang-undang pada tahun ini. 

Ini penting mengingat belum adanya perlindungan hukum dari pemerintah. Pengesahan RUU tersebut juga akan menjadi sejarah kemanusiaan, keadilan sosial dan kesejahteraan warga negara Indonesia. Terutama bagi para PRT yang dinilainya sangat berjasa, tetapi tidak pernah mendapatkan perhatian.

Ia mengapresiasi isi draf RUU PPRT yang juga mencantumkan soal pendidikan pelatihan serta perlindungan yang tidak hanya mencakup PRT bersangkutan tetapi terhadap pemberi kerja. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kita juga masih berbasis pada kearifan lokal," kata dia. Perlindungan ini, katanya, juga menempatkan PRT sesuai karakteristiknya, yakni sebagai pekerja domestik yang berbeda dengan pekerja lainnya. 

Begitu pula dengan Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini yang menegaskan Komnas Perempuan memandang penting perlindungan bagi PRT melalui UU Perlindungan PRT. RUU ini mesti diperjuangkan sejalan dengan mandat Komnas Perempuan untuk  perlindungan kaum perempuan dari  kekerasan dan kesetaraan HAM.

Komnas Perempuan menyayangkan yang sampai sekarang tidak ada payung hukum bagi PRT. PRT selalu menjadi korban kekerasan baik itu kekerasan seksual, kekerasan berbasis gender, kekerasan dalam rumah tangga, dan perdagangan orang. Termasuk tidak dipenuhinya hak-hak mereka sebagai pekerja, seperti upah, beban kerja, cuti, waktu istirahat, dan peningkatan kapasitas.

Komnas Perempuan berpandangan bahwa pengakuan dan perlindungan terhadap PRT melalui pengesahan RUU PPRT merupakan perwujudan sila kelima Pancasila yaitu "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" dan amanah Konstitusi Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945  Pasal 28D ayat (2) yang menyatakan "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja".

Ya, semoga saja apa yang sudah diperjuangkan selama 16 tahun ini tahun ini membuahkan hasil. Karena bagaimana pun PRT juga menjadi bagian dari pembangunan  Indonesia hingga perlu diberdayakan potensinya dan dilindungi secara hukum. Diharapkan tidak ada lagi kasus-kasus yang menimpa PRT luput dari perlindungan hukum. 

Maka, sudah seharusnya semua pihak mendukung lahirnya UU Perlindungan PRT, agar ada jaminan yang pasti akan status dan hak para PRT. Semua pihak harus peduli terhadap perlindungan hak wanita dan anak terhadap segala bentuk kekerasan serta meningkatkan harkat dan martabat perempuan Indonesia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun