Mohon tunggu...
Isti
Isti Mohon Tunggu... Relawan - https://zonapsiko.wordpress.com

Not verified

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Ketika Makan Tak Lagi Sesederhana Maknanya

18 Juni 2015   06:32 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:45 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini Sekadar Soal Makan

Puasa-puasa ngomongin soal makan. Lho... memang kenapa? Memangnya muslim yang berpuasa nggak makan dan minum sama sekali? Sama saja, kan makan dua kali, hanya di waktu-waktu tertentu saja bedanya. Hmmm kenapa saya ngomongin soal makan saat Ramadhan begini? Sebab, saya melihat, mengamati dan kadang terjebak juga, setiap jelang dan selama Ramadhan, persoalan makan mendapat porsi perhatian dan fokus yang lebih besar, terutama di kalangan ibu-ibu.

Jika di hari-hari biasa, di luar Ramadhan, makan menjadi sebuah rutinitas biasa, nggak begitu dipusingkan dengan menu dan persiapannya, di bulan Ramadhan sepertinya berubah. Makan dan menunya harus benar-benar dipikirkan, plus ditambah ta'jil. Lho... memangnya nggak boleh ya? Ya, kalau mikirin makanan sampai pusing dan memaksakan diri, sepertinya kok, malah membebani diri ya.. Ramadhan kan bukan untuk pesta makanan, tetapi justeru untuk berlatih menahan hawa nafsu, termasuk nafsu makan.

"Hanya makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang" adalah tuntunan Rasul Muhammad saw yang sudah kita semua ketahui. Namun kiranya pengetahuan itu bagi sebagian kita belum menjadi ilmu, pedoman hidup. Masih dalam tataran teori belum praksis. Ada jarak yang cukup jauh antara pengetahuan dan ilmu. Semua orang mungkin tahu bahwa uang itu benda bernilai, namun hanya bagi mereka yang berilmu saja, uang bisa dimaksimalkan manfaat dan penggunaannya. Begitu pun dengan sabda Rasulullah soal makan di atas. Kita tahu manfaatnya, tapi untuk melaksanakannya mungkin belum semua mampu, sebabnya tadi, nafsu makan belum bisa dikendalikan. Memang, menahan diri untuk tidak makan jauh lebih mudah dari menahan nafsu makan.
 

Makna Makan yang Tak Lagi Sederhana

Rerata kaum ibu terdengar berkeluh kesah tetapi juga menikmati momen Ramadhan. Ngeluh tapi dijalani, dinikmati lagi. Katanya, sebulan sekali ini. Menurut mereka, bajet belanja mendadak membengkak. Mereka harus mengeluarkan dana belanja ekstra. Apa para Bapak nggak pusing juga tuh? Ahaha. Selain karena harga kebutuhan pokok yang latah naik, ternyata budaya dan selera makan juga berubah. Budaya makan ini melahirkan kreatifitas tersendiri. Jelang bedug Maghrib, berjejer penjaja makanan di pinggir-pinggir jalan, dari jajanan ringan sebagai menu ta’jil hingga menu makanan pokok untuk berbuka puasa dan sahur. Tak hanya itu, kemudian lahirlah istilah ngabuburit – menghabiskan waktu jelang Maghrib yang biasanya sambil berburu kuliner. Padahal, dalam sejarahnya, Ramadhan tidak identik dengan makanan komplit dan nikmat. Hanya beda waktu makan yakni buka puasa saat Maghrib dan sahur di malam hari hingga jelang terbit fajar.

Di luar Ramadhan pun, saya dan mungkin Anda melihat dan merasakan bahwa tujuan makan kini tak hanya demi memenuhi kebutuhan perut, dan menurut Cak Nun disebut sebagai "makan sejati." Perut tak peduli apakah kita memilih nasi gudeg atau spaghetti, makan di warteg atau restoran Jepang. Perut tidak protes hanya dijejali makanan seharga seribu rupiah saja. Namun demi lidah, kita rela mengeluarkan hingga ratusan ribu untuk harga sebuah jenis makanan. Sebab lidah mendamba selera dan citarasa, membutuhkan variasi dan kemewahan menu makanan, inovasi dan teknologi kuliner. Jadi bukanlah perut yang mendorong seseorang untuk memburu kuliner hingga ke seantero kota, tetapi lidah yang bersamanya terbangun nafsu, mentalitas dan kecenderungan-kecenderungan aneh dalam kultur manusia.

Makan yang dalam konteks perut untuk menjaga kesehatan, bagi lidah makna itu diperluas menjadi bagian dari kultur, budaya sosial, gengsi, dan status sosial. Soal spaghetti dan mie instan, apa bedanya? Keduanya sama-sama berbahan dasar tepung terigu, bukan? Budaya manusialah yang menjadikan terigu menjadi mie instan, spaghetti, bakwan, atau burger. Tak hanya soal nama, terigu dalam kreatifitas budaya manusia, melahirkan kasta-kasta sosial. Padahal juga, ketika telah masuk perut, tak ada beda antara gudeg dan spaghetti, bakwan dan burger, yang ada saripatinya saja. Lalu, ketika semua hasil budaya manusia itu dikeluarkan di toilet, tak juga berbeda wujud dan baunya. Kembali, hanya ketika di lidah rasa makanan berbeda, tidak setelahnya.

Ketika makan telah mengalami perluasan bahkan pergeseran makna, kita tak cukup dan puas kalau hanya makan di warteg pinggir jalan. Kita butuh restoran mewah dengan menu mahalnya. Padahal kita tahu, yang dimasak di warteg dan restoran itu sama saja; nasi rames! Tapi, kita butuh menu makanan yang dapat meningkatkan gengsi. Maka kita rela membayar mahal bukan hanya untuk sepiring nasi rames, tetapi tempat yang nyaman, sejuk berpendingin, dekorasi indah, iringan musik klasik, pelayan restoran, bellboy, dan lain sebagainya. Makanan yang dibeli, bukan lagi karena nilai makanan itu sendiri melainkan kita membeli citra, brand. Makan pula tak lagi sekadar untuk kesehatan, yang cukup jika telah memenuhi kriteria 4 sehat 5 sempurna. Sekali lagi, telah terjadi pergeseran makna dan tujuan yang sedemikan jauh.

Kembali ke moment puasa Ramadhan. Ketika puasa Ramadhan tiba, ada kecenderungan pada kebanyakan kita untuk menumpuk makanan di meja makan dan di kulkas. Kita, ketika belanja di pasar, tujuan utamanya bukan hanya untuk membeli kebutuhan makanan yang dibutuhkan perut untuk kesehatan, tetapi lebih cenderung untuk memenuhi nafsu. Ketika saatnya berbuka, barulah kita sadar bahwa perut tak memerlukan makanan sebanyak dan semewah itu. Maka sebenarnya, puasa itu bukan untuk menahan lapar dan tidak makan, tetapi lebih kepada menahan hawa nafsunya yang menuntut lebih dari makanan yang dibutuhkan perut.

Semoga kita tidak termasuk dari mereka, orang-orang yang tak henti-hentinya makan, padahal tak lapar, dan dari mereka yang tak habis-habisnya makan, padahal sudah amat kekenyangan. Bukan saja dalam arti makan sesungguhnya, tetapi juga dalam bentuk perilaku. Kita sudah terlalu sering menyaksikan mereka yang tak pernah ‘kenyang’ dan ‘selalu lapar’ dengan apa yang dimilikinya. Mereka terlalu rakus sehingga sikut kanan-kiri, gasak ke sana ke mari, menghalalkan berbagai cara dan melanggar hak orang lain demi memenuhi nafsu ‘lapar’nya. Puasa ramadhan semestinya mengajarkan kita untuk dapat mengambil jarak dengan nafsu dalam beragam konteksnya.

Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan bagi yang menjalaninya.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun