Mohon tunggu...
Isti
Isti Mohon Tunggu... Relawan - https://zonapsiko.wordpress.com

Not verified

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Siapa pun Presiden Pasca SBY akan Tetap Dihujat

25 Januari 2014   17:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:28 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Susilo Bambang Yudhoyono [SBY] telah memimpin Negeri ini untuk masa dua periode dan tinggal menyisakan waktu beberapa bulan ke depan. Setelah itu beliau harus lengser ke prabon karena undang-undang membatasi masa jabatan presiden maksimal dua periode saja. Beliau terpilih melalui Pemilu Presiden secara langsung untuk pertama kalinya dan mengalahkan Capres lainnya termasuk Megawati sebagai Presiden incumbent saat itu. Ini merupakan hal yang luar biasa karena tak banyak rakyat yang mengenal SBY sebelumnya.

Kepemimpinan SBY berada pada era reformasi di mana kebebasan berpendapat dijunjung tinggi. Siapa pun boleh berpendapat, dari pejabat hingga rakyat kebanyakan. Sementara dahulu, masa Orde Baru [Orba] dipandang sebagai masa penuh tekanan; rakyat tidak memiliki kebebasan berpendapat, apa kata penguasa mereka harus manut.

Pada masa itu presiden menjadi sosok sempurna yang tidak boleh dikritik, sosok utopis yang sulit dijangkau oleh rakyat jelata. Sedikit saja ucapan dan tindakan yang dipandang merusak citra presiden, dianggap sebagai sebuah pelanggaran dan langsung diberi hukuman tanpa ampun. Maka jayalah masa Orba itu berlangsung hingga puluhan tahun. Rakyat menyimpan api dalam sekam yang menunggu waktu ledaknya. Dan masa itu, sampai juga hingga terjadi kudeta Presiden Soeharto melalui sebuah momentum gerakan reformasi yang diprakarsai oleh Amin Rais di tahun 1998.

Ibarat sebuah kran yang telah disumbat puluhan tahun lamanya, reformasi menjadi sebuah revolusi pembuka kran tersebut. Maka kran itu mengalirkan isinya dengan amat derasnya. Segala kotoran dan bau tak sedap yang selama ini terpaksa mengendap di dalamnya meledak dengan hebat. Entah butuh berapa lama hingga kotoran dan bau itu menemui kejernihannya. SBY, salah satu presiden dalam era reformasi harus menerima kenyataan ini. Ledakan harapan bercampur dendam yang ada dalam dada ratusan juta rakyat Indonesia mendapatkan ruangnya sehingga dapat segera dilampiaskan.

Kebebasan itu benar-benar membebaskan. Rakyat kini bebas berpendapat dan mengkritik presidennya melalui beragam simbol dan prilaku. SBY harus menyadari bahwa ia tak boleh menjaga jarak terlalu jauh dengan rakyatnya. Bahwa rakyat bisa berpendapat apa saja tentangnya sebagai presiden maupun sebagai pribadi. Amat disayangkan, reformasi yang digadang-gadang sebagai jalan pencerahan itu mengalami kebocoran yang menyemburkan hujatan-hujatan yang kebablasan. Bahasa kritikan yang jauh dari sopan santun, jauh dari cerminan pribadi yang terdidik. Presiden menjadi sebuah target yang memang pantas dan layak dicaci maki dan diolok-olok.

Bayangkan, mana boleh dulu rakyat begitu terhadap presiden di masa Orba? Kegeraman, kekecewaan hanya bisa terpendam di dada jika tidak mau dibui. Suka atau tidak, lagi-lagi SBY harus menelannya, terlebih lagi beliau dipandang gagal dalam menjalani fungsinya sebagai presiden sekaligus pendiri Partai Demokrat dengan slogannya "katakan tidak pada korupsi" itu.

Kritikan bagi seorang pemimpin tentu boleh-boleh saja dan bahkan baik demi sebuah perubahan dan kemajuan, selagi penyampaiannya berada dalam batas kesopanan bukan jatuh pada sebuah hujatan dan caci maki. Dalam perjalanan sejarahnya, siapa pun Presiden Negeri ini tak pernah lepas dari hujatan rakyatnya.

Dulu Soekarno pun demikian. Beliau dihujat karena politik nasakom yang dianutnya hingga ke ranah pribadinya yang menganut poligami. Ketika tiba pada gilirannya, Soeharto pun mengalami hal yang sama, selama masa kepemimpinannya hingga mencapai 32 tahun, beliau yang dikenal dengan 'The Smiling General' ternyata menyimpan tipu daya. Praktik KKN mulai merebak di masanya, tuntutan pelurusan sejarah G30S PKI, kasus Tanjung Priuk dan pembebasan Timor-Timur mewarnai masa kepemimpinannya.

Beralihlah Masa Orde lama dan Orde Baru dari bumi Indonesia, berganti wajah dengan reformasi. Habibie yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Presiden, harus menggantikan sementara jabatan presiden setelah Soeharto dilengserkan. Habibie pun tak lepas dari hujatan rakyat. Beliau dihujat karena kebijakannya yang melepaskan propinsi Timor-Timur dari Indonesia melalui sebuah referendum.

Setahun kemudian Gus Dur menjabat Presiden melalui pemilihan umum dan sidang paripurna DPR/MPR. Tak lama menjabat, tetap saja banyak menuai hujatan hingga dituntut untuk mengundurkan diri akibat kebijakan-kebijakannya yang dinilai tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan seperti membubaran DPR, membuka hubungan diplomatik dengan Israel, munculnya Buloggate dan Bruneigate.

Setelah Gusdur wafat, barulah bermunculan puja-puji atasnya. Gusdur dinilai sebagai seorang pemimpin yang pluralis dan membela kaum minoritas Tionghoa. Setelah lengsernya Gusdur, Megawati sebagai wakil secara otomatis menggantikannya menjabat Presiden RI berikutnya. Megawati dihujat rakyat karena kebijakan-kebijakan yang diambilnya dipandang tidak pro rakyat; menaikkan harga BBM, menjual BUMN yang dinilai sehat kepada pihak luar, dan penjualan kapal tanker Pertamina.

Kini era SBY pun mengalami hal serupa, hujatan demi hujatan mengarah kepadanya. Terlebih dibanding beberapa Presiden sebelumnya di era reformasi, masa jabatan SBY paling lama yakni dua periode. SBY dinilai sebagai Presiden tukang curhat, tidak tegas, hobi pencitraan. Kebijakannya memberikan grasi kepada bandar narkoba dan lambannya dalam menuntaskan kasus Bank Century menuai banyak kritik dan hujatan, dan masih segudang materi hujatan yang melekat pada diri SBY.

Dalam perjalanan kepemimpinan SBY, kemudian muncul romantisme sejarah dalam pikiran sebagian besar rakyat Indonesia akan masa-masa Soeharto memimpin Negeri ini. Terbitlah kalimat-kalimat satir seperti "piye kabare? enak jamanku to??" atau "bensin di jamanku Rp 700, saiki piro Le?" dan beberapa bentuk satir lainnya. Meski tidak diketahui siapa pencetus satir ini namun kemudian ternyata ia mampu mensugesti pikiran rakyat untuk mengenang masa-masa kepemimpinan Soeharto terutama kesan-kesan baiknya.

Rakyat lupa akan dosa-dosa Soeharto yang dibuatnya selama puluhan tahun dengan tiraninya yang membungkam kebebasan berpendapat mereka. Rakyat hanya ingat, jaman Soeharto itu aman dan harga kebutuhan pokok serba murah. Bagi mereka, jaman Soeharto memimpin jauh lebih baik daripada jamannya SBY. Rakyat tak melihat bahwa pada era SBY mereka boleh bebas berpendapat tanpa perlu merasa takut ditodong senjata dan masuk bui seperti di jaman Orba.

Begitulah, Soeharto telah melewati dua masa itu; masa dihujat [meski awalnya hanya dalam hati yang akhirnya meledak juga] ketika beliau menjabat sebagai presiden dan masa sanjung puji setelah beliau lengser dari kursi kepresidenan dan terlebih lagi setelah beliau wafat. Sebanyak apapun dosa-dosa politiknya, akan dapat tertutupi dengan kebaikan yang dilakukan beliau saat dibandingkan dengan presiden yang tengah menjabat sesudahnya, terutama oleh mereka yang merasa kepentingannya terpenuhi saat itu.

Dan kini, SBY masih harus menjalani masa dihujat itu karena beliau masih menduduki jabatan presiden yang tinggal beberapa bulan ke depan. Maka telan saja semua itu, kelak ada saatnya SBY kecipratan sanjung puji sebagai tetes terakhir dari kran yang menyisakan beningnya manakala beliau lengser nanti.

Itulah manusia yang senang dan akan selalu membandingkan. Presiden yang sekarang akan dibandingkan dengan presiden sebelumnya, dan nilai kebaikan milik presiden yang lengser itu, sedikit atau banyak akan mulai terlihat dan disebut-sebut kembali. Dan, siapa pun presiden sesudah SBY harus siap menerima kenyataan ini. Ketika pada waktunya, ia akan dibandingkan dengan presiden sebelumnya yakni SBY. Saat itu, sangat mungkin terjadi citra SBY menjadi lebih baik dari presiden yang sedang menjabat meski faktanya mungkin tidak sepenuhnya begitu. Sebab rakyat Indonesia ini begitu romantis dan reaktif; mudah benci dan menghujat setiap persoalan yang mengemuka sekaligus mudah memaafkan kesalahan yang telah lampau.

Seperti Soeharto dan Gusdur yang baru tampak jasa dan kebaikannya setelah mereka wafat, maka SBY pun sepertinya harus besabar diri. Akan datang masanya di mana kran itu mengalirkan sisa-sia tetes beningnya. Sebarapa banyak tetes bening dan seberapa lama waktu SBY harus menunggu tergantung pada sepak terjang presiden sesudahnya dan seberapa banyak kebaikan SBY yang rakyat simpan dalam memori jangka panjang mereka.

Sesempurna apa pun presiden pasca SBY nanti, ia tak akan lepas dari hujatan dan pembandingan dengan presiden sebelumnya. Begitu seterusnya. Yah, ini lah panggung dunia itu dengan rasanya yang nano-nano dan seringnya takterduga. "Kebaikan seseorang itu akan kelihatan setelah ia tidak lagi bersama kita." Kalimat ini mungkin banyak benarnya. Dan keseluruhan tulisan ini hanya sebuah opini pribadi yang bisa saja salah.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun