Hampir seminggu ini saya masih harus rehat di rumah jadi bisa menyempatkan diri ngompasiana di jam-jam sibuk deh. Entah hari apa tepatnya, saya lupa, waktu nyalain tv ternyata acara gossip artis yang muncul. Sekilas saja sih saya menonton soal kasus pertikaian antara Bopak dan mantan isterinya terkait anak hasil pernikahan keduanya.
Kalau tidak salah, awalnya Bopak tidak mengakui anak hasil pernikahannya sebagai anak kandungnya dan menuntut tes DNA. Belakangan saya mendengar isterinya berkata bahwa sekarang justeru Bopak pengen ngambil hak asuh anaknya. Tentu saja isterinya meradang. Sementara Bopak kini tengah berbunga-bunga dengan gandengan barunya yang cantik. Bopak mesti hati-hati tuh, apa benar perempuan itu tulus?
Tentu banyak pertimbangan ketika Hakim nantinya memutuskan menjadi hak siapa untuk mengasuh anak mereka tersebut. Tetapi pada dasarnya, seorang ibu memiliki hak lebih besar untuk mengasuh anaknya ketimbang ayahnya.
Ada sebuah kisah yang pernah saya baca terkait hal ini. Sebuah kisah zaman sahabat. Kurang lebih kisahnya begini:
Abu Ubaidah berkata bahwa Abul Aswad ad-Da'uly bercerai dari isterinya. Tetapi kemudian keduanya berebut anak, di mana masing-masing merasa paling berhak atas anak mereka. Lalu keduanya membawa persoalan ini ke Pengadilan Basrah. Saat itu yang bertindak sebagai hakim adalah Ziyad.
Setelah mengetahui maksud keduanya, Hakim memberikan hak bicara kepada pihak isteri terlebih dahulu.
"Yang Mulia, bocah ini adalah anakku. Perutku adalah wadahnya. Pangkuanku adalah tempat bermainnya. Air susuku adalah makanannya. Kutunggu saat ia tidur, kujaga saat ia bermain. Begitu lah selama tujuh tahun berjalan dan kini suamiku memaksa dan mau merebutnya dariku."
Kini giliran suami berbicara; " Yang Mulia, Bocah ini adalah anakku juga. Bahkan sebelum isteriku menjadi wadahnya, akulah wadahnya. Dan sebelum isteriku mengeluarkannya, terlebih dahulu aku mengeluarkannya."
Kembali giliran isteri berbicara; "Yang Mulia, mohon dengarkan! Sebagai wadah, dia membawanya begitu ringan, sedangkan aku membawanya dengan kondisi yang semakin berat dan payah dari bulan ke bulan. Dia mengeluarkannya dengan syahwat, sedangkan aku mengeluarkannya dengan penuh penderitaan."
Akhirnya Sang Hakim berkata; "Demi Allah! Wahai perempuan! Anda telah menimbang antara dua dalih secara tepat, dan Anda pun telah membandingkan antara dua alasan dengan tepat, maka aku tidak menemukan alasan lain kecuali harus menyerahkan bocah ini kepadamu."
Melihat bagaimana reaksi dan perilaku Bopak, pembaca dapat menilai siapa sebenarnya yang lebih layak mendapatkan hak asuh anaknya. Bopak juga wajib menunaikan kewajibannya sebagai ayah untuk memenuhi kebutuhan anaknya.
Dan kelebihberhakkan isteri untuk mendapatkan hak asuh ini ketika anak masih belum dewasa dan belum bisa memilih ikut siapa, tidak ada hal-hal yang menghalanginya misalnya isteri sakit parah, terganggu mentalnya, tengah menjalani kasus hukum atau menurut pengadilan dipandang tidak mampu bila diberikan hak asuh dengan alasan dan pertimbangan tertentu.
Para suami, jelas?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H