HEBOH. Begitulah reaksi teman-teman PNS terutama sih, kaum perempuan dalam merespon kebijakan pemerintahan melalui “Gerakan Hidup Sederhana” bagi PNS. Rame dan serius perbincangan seputar; (1) pelarangan menyelenggarakan acara di hotel, (2) menu hidangan untuk setiap acara adalah singkong, jagung, pisang, ubi (goreng dan rebus), serta (3) pembatasan jumlah undangan pada hajatan PNS dengan jumlah maksimal 400 undangan dan batasan yang hadir tidak lebih dari 1000 orang. Para PNS dan Non PNS pun ramai membicarakannya, baik di dunia nyata maupun jejaring sosial di dunia maya.
Sedikit saja para PNS yang mengapresiasi positif peraturan tersebut, kebanyakan memandang aturan Pak Menteri berlebihan. Mereka merasa selama ini telah sering menjadi sasaran negatif masyarakat. Ketika PNS tampak hidup berlebih dengan kepemilikan mobil misalnya dinilai aneh, seolah PNS tak boleh kaya, selalu dicurigai. PNS merasa, kenapa hanya mereka yang menjadi sorotan? Untuk pertanyaan terakhir, saya cuma bilang; karena PNS abdi Negara yang digaji oleh Negara dari pajak rakyat.
Saya pribadi tidak menolak dan menerima sepenuhnya aturan yang dikeluarkan Pak Menteri ini.Untuk aturan pelarangan menyelenggarakan kegiatan kedinasan di hotel dantempat sejenisnya, saya sangat setuju. Berdasarkan pengamatan selama mengikuti kegiatan di luar, seringkali tidak berjalan efektif; pemateri kadang tidak hadir, isi materi tidak sesuai tema, dan yang sudah menjadi rahasia umum, jumlah hari kegiatan dikorupsi, semisal dari 3 hari dipadatkan jadi 2 hari. Anggarannya kemana? Tanya panitia saja. Tentu kegiatan di luar ini memerlukan anggaran yang besar. Bagaimana jika kegiatan bersifat regional bahkan nasional? Mungkin bisa memanfaatkan gedung pemerintah di daerah setempat.
Bagaimana untuk aturan menu hidangan kegiatan dan pembatasan undangan acara hajatan? Saya melihatnya sebagai sesuatu yang tidak esensial. Seorang teman PNS bilang; “Gimana bisa mikir kalau Cuma dijejali singkong rebus?” (mungkin maksudnya, singkong kurang gizi dan memengaruhi kerja otak). Ehehe... saya menilainya lebay juga dengan pernyataannya itu. Memangnya seberapa sering mengadakan kegiatan dengan suguhan singkong rebus, dkk-nya itu dalam sebulan? Mereka bisa mengonsumsi makanan lainnya seperti biasanya di luar kegiatan kedinasan. Hanya saja, Pak Menteri.. menurut saya, aturan tersebut kurang mengena jika untuk membiasakan hidup sederhana di kalangan PNS, khususnya di kantor atau untuk memangkas pengeluaran anggaran Negara. Gimana ngontrolnya? Apakah dengan melihat bon/kwitansi pemesanan menu singkong rebus dkk itu?
Bukankah lebih efektif jika Pak Menteri beserta tim memberikan hitung-hitungan anggaran per orang misalnya, untuk setiap kegiatan yang diselenggarakan? Atau batasi saja anggaran untuk setiap kegiatan berdasarkan sifat dan skalanya. Sehingga boleh saja Pak Menteri menganggarkan konsumsi kegiatan senilai singkong rebus, tetapi bebaskan saja penyelenggara (PNS) mengelolanya sendiri tanpa harus dibatasi dengan sesaklek itu, harus singkong, jagung, ubi, pisang, dan kacang rebus.
Terkait batasan undangan acara/hajatan PNS, seorang teman PNS lainnya menanggapinya santai. Ia mengatakan bahwa aturan itu hanya berlaku bagi pejabat-pejabat tinggi saja yang banyak relasinya dan souvenirnya iphone. Ehehe.. kok bisa begitu? Ah, teman saya itu hanya bercanda. Katanya, nggak usah serius-serius lah menanggapinya. Iya, soalnya bagi mereka, aturan itu tidak mengkhawatirkannya sebab jikapun mengadakan hajatan, undangannya juga nggak lebih dari itu. Tapi bagaimana dengan para PNS termasuk pejabat tinggi yang punya banyak relasi dan kerabat? Bukankah aturan Pak Menteri akan menimbulkan konflik sosial? Para kerabat dan relasi yang tak diundang bisa tersinggung, akhirnya hubungan kekerabatan renggang atau bahkan putus sama sekali? Bisa saja kan? Pastikan saja bahwa para pejabat dan PNS itu bebas dari korupsi, dan itu sudah ada undang-undang dan prosedur bagaimana mengawasinya, bukan?
Pak Menteri, sesuai dengan tambahan RB (Reformasi Birokrasi) di kementrian yang Bapak pimpin, saya melihat ada hal-hal yang lebih esensial, substantif yang perlu dibenahi di lingkungan PNS. Bagaimana agar PNS bisa melayani masyarakat dengan baik, bagaimana agar alur birokrasi lebih efisien dan efektif (untuk menghindari praktik pungli dan nepotisme). Memang saat ini sudah ada upaya pemerintah untuk memperbaikinya dengan meng-online-kan sistem , tetapi di lapangan tetap saja para PNS mengeluhkan praktik pungli yang tidak juga hilang. Selain itu, kebijakan longgar bagi PNS yang melanggar aturan pun sering disepelekan. Sanksi mutasi ke tempat ‘kering’ dengan tambahan ‘pembinaan’ untuk sementara, dan kemudian dikembalikan kembali ke posisi semula, dirasa tidak cukup mampu memberikan efek jera.Sebuah pernyataan Presiden Joko Widodo untuk memberikan apresiasi berdasarkan kinerja dan pemberhentian PNS yang bandel, merupakan angin segar bagi PNS idealis dan ancaman bagi PNS yang malas. Sebaiknya, aturan-aturan seperti ini yang dikedepankan dan direalisasikan.
Oh iya, Pak Menteri, PNS yang hidup sederhana jauh lebih banyak dibandingkan PNS yang hidup mewah. Kebetulan sekali, saya memang suka jajanan olahan singkong, jagung, dan pisang, kalau ubi nggak begitu suka, hihi... Musim hujan begini, enak banget tuh.. nggak usah nunggu acara kedinasan.
Di atas semua itu, saya mendukung reformasi birokrasi di lingkungan PNS agar citra PNS baik di mata publik, tak lagi menjadi ‘musuh’ masyarakat. PNS dapat hidup sederhana meski sejahtera. Dan saya percaya, Pak Menteri memiliki niat baik dan semangat untuk itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H