Sepagi ini aku sudah mendapatkan surat. Selama ini aku tak pernah menerima surat dari siapapun. Tapi surat ini cukup untuk membuatku kaget. Kakak sakit parah?
Aku seakan tak percaya kabar dari surat itu. siapa pula yang mengirimkan surat ini. tak ada nama pengirimnya di sana. Aku kembali duduk di balkon menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda. Tidak, aku tidak percaya surat itu, kalaupun benar, aku tidak ingin menjenguknya. Sudah cukup luka yang terpahat di hatiku.Â
Hati ini tidak bisa lagi menampung luka meskipun satu. Aku akan kembali menyibukkan diri dengan pekerjaanku. Selama ini sku sudah bersabar menghadapinya, tapi sia -- sia semua kesabaranku. Aku tidak habis pikir akan punya kakak seperti itu. aku selalu iri melihat rekan kerja yang punya kakak berhati baik. Bahkan mereka dekat denganku dan selalu mampir ke rumah.
Apa aku salah membenci kakakku sendiri?
Entahlah. Aku tidak tau jawabannya.
Aku menghembuskan nafas pelan. Kuminum teh yang sebelumnya aku buat. Aku termangu di depan laptop tidak bisa fokus bekerja. Semua kenangan itu berkelebat begitu saja di hadapanku. Tak ubahnya televisi yang nyala. Bayangan itu muncul begitu saja mengganggu pekerjaanku. Kakak yang selalu berteriak membangunkanku pagi buta. Kakak yang selalu memarahiku saat aku tidak selesai bekerja. Kakak yang selalu menyuruhku membaca.Â
Aku bosan.
Aku berjalan menuruni anak tangga menuju taman. Mungkin berhibur sedikit cukup untuk menghilangkan bayangan itu. Aku mengambil pelet yang tergeletak di meja dekat pintu. Aku ingin memberi makan ikan di kolam taman. Mungkin bisa menjadi selingan yang baik sebelum melanjutkan kerja.
"Tuan, ada telpon." Pelayan berseru, di belakangku.
"Siapa?" jawabku tak menoleh. Tanganku masih melempar pelet.
"Katanya kerabat tuan, dia tidak menyebutkan namanya."