Titik Didik
Oleh: Arunika Rintani
Di Atas Papan Tulis Yang Berdebu,
Cita-Cita Melayang, Mencari Tempatnya.
Di Lorong Sekolah Berlantaikan Retak,
Mimpi-Mimpi Tersandung Oleh Bayangan
Gedung Megah Di Kejauhan.
Di Pelosok, Anak-Anak Membaca Cahaya,
Dari Lilin Yang Hampir Padam.
Sementara Di Kota, Layar-Layar Terang
Mengajarkan Dunia Yang Tak Pernah Mereka Kenal.
Buku Usang Di Sudut Desa,
Berperang Melawan Tablet Pintar Di Ibu Kota.
Sepatu Berlubang Melintasi Jalan Berbatu,
Sementara Roda Mewah Melaju Di Aspal Mulus.
Adakah Ilmu Ini Adil
Jika Takdir Terlalu Berat Sebelah?
Lihatlah Mereka, Para Orang Tua Di Pelosok,
Dengan Bahu Yang Renta, Namun Tak Pernah Patah.
Pagi Mereka Adalah Ladang, Malam Mereka Adalah Mimpi,
Membayangkan Anak-Anak Mereka Berdiri Sama Tingginya
Dengan Anak-Anak Kota Yang Berpakaian Licin Dan Bersepatu Baru.
Guru Di Desa Menulis Dengan Tangan Letih,
Mengajari Dengan Hati Yang Lelah.
Namun Di Balik Kelelahan Itu,
Tersimpan Harapan Yang Tak Pernah Padam,
Bahwa Esok Akan Ada Yang Memandang Mereka Tanpa Sebelah Mata.
Namun Esok Hari Tak Pernah Sama,
Yang Kaya Tetap Kaya,
Yang Miskin Tetap Berjuang Di Lubang Yang Sama.
Pendidikan, Sebuah Janji Yang Mulia,
Namun Terpenjara Dalam Rantai Perbedaan.
Di Antara Dinding Yang Kasat Mata,
Siswa Dengan Seragam Lusuh,
Menatap Diam Siswa Dengan Tas Penuh Buku Baru.
Adakah Keadilan Di Antara Kita,
Ketika Lelah Mereka Tidak Pernah Sampai Ke Telinga Kota?
Titik Didik Ini,
Apakah Akan Menjadi Awal
Atau Justru Akhir Dari Segalanya?
Masyarakat Desa Terus Melangkah,
Membawa Impian Yang Mungkin Hanya Bayang.
Namun Dalam Keringat Mereka,
Ada Nyala Kecil Yang Tak Pernah Redup,
Bahwa Suatu Hari Keluguan Itu Akan Menjadi Cahaya.
Arunika Rintani | AR-031122-18012025
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H