Nasyid dan qosidah seharusnya menjadi wasilah (sarana) untuk menyampaikan pesan tauhid dan akhlak mulia. Namun, fenomena ini menunjukkan bagaimana seni Islami bisa berubah menjadi sarana pemujaan hawa nafsu jika tidak disertai ilmu. Allah SWT telah mengingatkan kita agar tidak terjebak dalam perangkap duniawi:
>
"Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, merasa puas dengan kehidupan dunia dan merasa tenteram dengan kehidupan itu, serta orang-orang yang lalai terhadap ayat-ayat Kami."
(QS. Yunus: 7)
Daya Tarik yang Menipu
Lagu-lagu qosidah dan nasyid sering kali disajikan dengan instrumen rebana yang memikat, menciptakan suasana syahdu yang menenangkan hati. Namun, di balik keindahan itu, liriknya bisa saja membawa pesan yang tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Misalnya, banyak lagu qosidah yang sebenarnya bukan pujian kepada Allah atau Rasul-Nya, melainkan glorifikasi cinta duniawi. Syair-syair tersebut penuh metafora yang memuja seseorang secara berlebihan, menciptakan gambaran cinta yang tidak hakiki.
Sebagai santri, saya melihat ini sebagai bentuk degradasi seni Islami. Seni yang seharusnya menjadi alat untuk menguatkan iman, kini berubah menjadi kendaraan hawa nafsu.
Tanggung Jawab Penyanyi dan Pendengar
Seorang penyanyi nasyid atau qosidah bukan hanya seorang seniman, tetapi juga seorang penyampai pesan. Mereka memikul tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa lirik yang mereka bawakan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Tidak ada alasan untuk menyanyikan lagu tanpa memahami maknanya.
Di sisi lain, pendengar juga harus lebih kritis. Kita tidak boleh mudah terpesona oleh keindahan melodi tanpa memahami isi liriknya. Allah SWT telah memberi kita akal untuk memilah mana yang baik dan mana yang buruk.