Di sebuah desa kecil bernama Kampung Langit, hiduplah seorang pemuda bernama Darsan, yang dikenal bukan karena kekayaannya, melainkan rasa ingin tahunya yang tak pernah padam. Desa itu memang indah: sawah hijau terbentang luas, sungai berkelok-kelok berkilauan diterpa cahaya mentari, dan burung-burung berkicau riang. Namun, bagi Darsan, ada sesuatu yang selalu mengusik pikirannya: apakah ada kehidupan yang lebih luas dan bermakna di luar sana?
Pada suatu malam, saat bulan purnama bersinar terang, Darsan mendengar kisah dari Mbok Tuminah, tetua desa, tentang sebuah tempat legendaris bernama Langit Keberkahan. "Itu adalah tempat di mana segala mimpi bisa terwujud," ujar Mbok Tuminah dengan nada penuh teka-teki, "tapi hanya mereka yang punya keberanian, kesabaran, dan hati yang tulus yang bisa menemukannya."
Kisah itu membakar semangat Darsan. Ia memutuskan, apa pun risikonya, ia akan mencari Langit Keberkahan.
***
Esoknya, Darsan mulai mempersiapkan diri. Bekalnya sederhana: nasi bungkus dari ibunya, sebuah buku kecil berisi pantun-pantun almarhum ayahnya, dan secarik kertas bertuliskan pesan ibunya:
"Keberanian terbesar adalah mencintai tanpa pamrih, dan kebijaksanaan tertinggi adalah sabar menjalani hidup."
Dengan semangat membara, ia melangkah meninggalkan Kampung Langit menuju hutan lebat yang membentang di pinggiran desa.
***
Hutan itu penuh misteri, gelap dan menakutkan. Suara gemerisik dedaunan dan nyanyian jangkrik mengiringi setiap langkahnya. Di tengah perjalanan, ia bertemu seekor burung kecil berwarna emas yang hinggap di dahan rendah. Burung itu berbicara, "Jika kau ingin menemukan Langit Keberkahan, jawab teka-teki ini: Apa yang bisa membuat manusia kaya tanpa harta, kuat tanpa otot?"
Darsan termenung. Ia membuka buku kecilnya dan membaca pantun yang pernah ditulis ayahnya:
"Bukan emas yang jadi jaya,