“….berikut sebuah persembahan lagu dari kami ncang encing, abang, none, mpok-mpok untuk Anda pendengar Sonora yang berbahagia…”
Terkenang semasa ospek dulu sebagai mahasiswa baru Universitas Riau di Pekanbaru, saya kena sanksi lari keliling lapangan gara-gara memanggil seorang senior pria dengan panggilan ‘kakak’. Ternyata di negeri melayu, haram seorang pria dipanggil kakak.
Tentu saja waktu itu saya yang sebenarnya innocent dianggap ngenyek. Panggilan kakak ternyata hak khusus para perempuan. Sialnya waktu itu saya lupa, saya bisa selamat, seandainya senior seram itu saya panggil mas. Alamaaakkk!
Bagaimana dengan sapaan bapak dan ibu?
Kalau Anda penutur asing yang belajar bahasa Indonesia, Anda akan aman menyebut seseorang demikian, apalagi dalam lingkup formal.
Tapi bahasa memang anak kandung budaya. Ia dinamis. Apa yang pantas kemaren, belum tentu ditakar pas untuk dipakai kini. Juga sebaliknya.
Dan pula dengan serbuan globalisasi, makin banyak orang yang agak-agak sensi dengan umur. Bapak dan ibu kemudian dianggap memuat bias umur dan status.
Ibu mengandung asumsi yang bersangkutan sudah menikah dan menjadi ibu bagi anaknya. Padahal makin jamak perempuan lajang yang meraih karir moncer di dunia kerja tanpa harus terlebih dahulu menjadi seorang ibu, atau menjadi istri seseorang.
Sama dengan sapaan ibu atau bapak, menyapa dengan mas dan mba juga menunjukkan tata krama penuturnya, biarpun yang disapa lebih muda usia dari Anda. Singkatnya, ini lebih aman untuk pergaulan apalagi pada tahap perkenalan.
Sekali lagi, ini tata krama. Kecuali Anda benar-benar yakin, kenalan baru tersebut lebih kecil usia dari Anda, bolehlah langsung panggil nama. Kalau tak yakin, namun keukeuh langsung panggil nama, salah-salah Anda di cap tidak tahu adat.
Akhirnya mba bersama mas makin mendapat tempat di hati penutur Bahasa Indonesia. Ia kini makin memuat kesan modern, ageless, mandiri, demokratis, akrab, dan berdaya.