Mohon tunggu...
neneng salbiah
neneng salbiah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada buku yang ingin kau baca, namun kau tak menemukannya, maka kaulah yang harus menulisnya!

Apa yang kamu lihat itu adalah berita. apa yang kamu rasakan itu adalah puisi dan apa yang kamu khayalkan itu adalah fiksi. saya berharap pembaca tidak menghakimi tulisan-tulisan yang ada di blog ini. karena saya penulis pemula. belum pandai dalam menata ide pokok cerita dalam sebuah paragraf yang sempurna. Seorang ibu rumah tangga yang sedang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

1.200 Detik bersama Sang Hubabah

27 Oktober 2024   11:34 Diperbarui: 28 Oktober 2024   05:05 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Subuh baru saja berlalu, matahari pagi belum sempurna memancarkan sinarnya. Aku serta dua bocil kesayangan melaju membelah sunyi jalanan kota Bogor, dengan kendaraan roda dua.

Dingin mulai menyergap tubuh yang lupa mengenakan jaket. Sesekali melepas stang gas dan mengibaskan tangan, karena kebas. Sudah berumur rupanya.

Tepat pukul lima lebih dikit aku tiba di tempat yang cukup asri. Sebuah rumah etnik dengan ornamen kayu di hiasi lampu-lampu yang masih menyala temaram.

Bukan tanpa tujuan atau sekedar jalan-jalan aku mendatangi tempat ini. ada satu acara perhelatan Hari Besar Islam yang bertajuk "SANG PEMBERI SYAFAAT"

Sudah terlalu lama memendam keinginan untuk bertandang ke tempat ini dan baru hari inilah Allah mengizinkan langkahku tanpa hambatan.

Pagi mulai menampakkan geliatnya. Sang empunya rumah menyambutku dengan senyum ramah, aku yakin beliau belum mandi. Namun, tetap terlihat cantik dan memesona.

Setelah berbasa-basi sedikit. Beliau sibuk mengatur pormasi panitia acara dan aku turut menyibukan diri menjadi bagian dari tim hore. Apakah di sini aku menjadi tamu? No way! Apa pun itu, dengan keramahan yang ada seketika aku berasa menjadi tuan rumah.

Acara berjalan dengan sangat khidmat. Di sela aktivitas menyibukkan diri lamat terdengar berbagai nasihat dari para ustadzah melalui pengeras suara.

Tiba waktu berramah tamah seraya menikmati hidangan dan kudapan yang di sediakan khusus oleh empunya acara. Ada pemandangan yang menarik di momen ini. semua menikmati hidangan yang tersedia, tidak kulihat satu pun yang berada di dalam bilik rumah kayu itu memegang atau sibuk dengan gawai.

Satu hal yang lebih menarik perhatianku. Seorang wanita duduk di sudut ruangan. Menikmati beberapa makanan yang di sajikan. Dari awal kedatanganya aku terus memperhatikan dari sudut ruangan yang berlawanan. Setelah beliau selesai makan. Ada beberapa orang menghampiri, mereka terlibat pembicaraan yang cukup serius. Masing-masing membawa sebotol air mineral.

"Siapa orang itu?" tanyaku dalam hati. Aku hanya bergumam dan bertanya-tanya sendiri jangankan untuk mendekati wanita tersebut untuk sekedar bertanya pun tidak ada keberanian.

Rasa penasaranku semakin membuncah, pada akhirnya aku bertanya kepada si empunya rumah yang tidak lain beliau adalah Ustadzah Mustika Hima A Zaini. Beliau bilang "Itu Hubabah Faurah Al Habsyi," jawab beliau. "Owh ... Hubabah." Aku mengulang kalimatnya.

Pernah aku membaca tulisan tentang seorang "Hubabah" karena Hubabah itu sendiri artinya adalah "kekasih, Dicintai" itulah yang aku tahu dari kamus daring Arab-indonesia Maany. Berasal dari kata 'Hub' yang bermakna cinta.

Aku beranikan diri meminta ijin untuk mendekati beliau dengan berbekal sebotol air mineral, aku beringsut mendekatinya.

Kuucapkan salam, kucium punggung tangannya dengan takdzim, dari bisik-bisik yang kudengar beliau senang mendengarkan cuhatan hati orang lain. Akan tetapi, bagaimana aku memulai? Sementara aku belum pernah mengenalnya?

Sudut Rumah kayu menjadi saksi Memori bersama sang Hubabah. ( sumber Fohoto Dok Pribadi)
Sudut Rumah kayu menjadi saksi Memori bersama sang Hubabah. ( sumber Fohoto Dok Pribadi)

Senyum menghiasi kedua sudut bibir sang Hubah, seraya berucap. "Kenapa? Ada apa?" entah apa yang kurasa saat itu. sapaannya saja sudah membuatku bergetar, padahal hanya sapaan biasa.

Sepatah kata mulai keluar dari mulutku. Ah! Suaraku tercekat di tenggorokan. Semua selaksa seolah berebut ingin keluar dari dalam dada. sejenak diamku menjeruji, untuk sekedar menarik nafaspun rasanya sulit. Sesak sekali.

Kupeluk lutut Hubabah, dengan posisi aku berimpuh di bawah tempatnya duduk. Menahan bulir bening dari ceruk mataku agar tak berurai.

Aku mulai bercerita meski terbata. Entah jelas atau tidak ucapanku, yang pasti Hubabah dapat menangkap keluh kesah yang kurasakan. Berbagai nasihat mengalir bak air gunung yang menyirami tanah gersang. Sejuk dan menyejukkan.

"Kamu sebagai perempuan harus, Pintar, kuat dan mandiri, ajaran dan contoh nyatalah yang akan menjadi warisan untuk anak-anak kelak." Nasihat sederhana yang keluar dari seorang Hubabah. Seorang wanita paruh senja yang di hormati banyak orang. Cucu dari habib Ali Alhabsyi/ Ali Kwitang. ulama dan habaib termashur di tanah air. Memberikan satu nasihat untukku yang bukan siapa-siapa bahkan baru sepersekian detik mengenalnya.

Untuk sebagian orang mendengarkan nasihat itu hal yang lumrah dan biasa. Namun, nasehat sederhana itu terasa begitu bermakna dan aku sering kali mendengar apa yang Hubabah ucapkan. Tapi entahlah perasan yang sulit kuartikan berkecamuk dalam dadaku saat itu.

Pertemuan yang hanya beberapa menit itu pun, berakhir dengan untaian doa yang bermuara pada sebotol air mineral. Semoga semua bisa menjadi wasilah segala kebaikan kedepannnya.

Dalam air putih yang di bacakan doa dan dzikir reaksinya akan menjadi baik. Molekul yang terkandung di dalamanya akan indah dan menjadi energi positif bagi manusia yang meminumnya.

"Semua penulis itu akan mati. Hanya karyanyalah yang terus abadi. Maka tulislah sesuatu yang akan membahagaikanmu di akhirat nanti (Ali bin Abi Thalib)

"Jazakumullah khairan katsiran wa jazakumullah ahsanal jaza," Teruntuk Hubabah Faurah Alhabsyi. Atas sedikit waktu luangnya beberapa hari lalu. Kelak jika Semesta memberikan ijin untuk kembali bersua, aku ingin hanya curahatan bahagialah yang keluar dari mulut ini. semoga sekelumit tulisan ini bisa membawa kebahgiaan di akhirat kelak. Menjadi saksi jika aku pernah berinteraksi dan berjabat mesra dengan seorang hamba keksaih pilihan-Nya.

Sepecial thanks to Ustadzah Mustka Hilma A zaini. Yang telah menyeret dan menjebakku dalam lingkaran indah penuh cahaya. Di tengah oase dahaga dunia. Benar adanya jika Allah akan mengabulkan setiap doa yang kita pinta akan datang pada waktu yang tepat bukan di waktu yang cepat. Meski pada awalnya aku merasa terlambat mengenalnya. Namun, sekenario Allah jauh lebih indah dari yang kita bayangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun