Mohon tunggu...
neneng salbiah
neneng salbiah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada buku yang ingin kau baca, namun kau tak menemukannya, maka kaulah yang harus menulisnya!

Apa yang kamu lihat itu adalah berita. apa yang kamu rasakan itu adalah puisi dan apa yang kamu khayalkan itu adalah fiksi. saya berharap pembaca tidak menghakimi tulisan-tulisan yang ada di blog ini. karena saya penulis pemula. belum pandai dalam menata ide pokok cerita dalam sebuah paragraf yang sempurna. Seorang ibu rumah tangga yang sedang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Luka Tak Berdarah

27 Maret 2024   21:53 Diperbarui: 27 Maret 2024   22:02 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana Ramadhan sudah terasa. Meski puasa belum terlaksana. Sidang isbat pun belum lagi menggema.

Beberapa orang mulai bertandang di gubuk tua ujung jalan. Hunian Nenek renta yang hidup sebatang kara. Rantang berisikan nasi besrta lauk pauk dari tetangga. Diterimanya dengan bahagia dan haru. Rinai air bening menetes di ceruk mata yang sudah tidak lagi dapat melihat dengan sempurna.

Aku salah satu dari mereka yang turut memberikan perhatian. Perhatian yang hanya ia terima setahun sekali.

Kakiku melagkah pelan. Dengan tentengan gudibag berisikan sembako. Untuk kebutuhan dan bekal sang Nenek menjalani ramadhan. Meksi mungkin hanya cukup untuk beberapa hari kedepan.

Sebelum aku memasuki pekarangan rumahnya yang sedikit tidak terawat. Usianya yang renta membuatnya tidak lagi memilki banyak tenaga untuk membabat rumput sekitar pekarangan gubuk tuanya.

Ada pemandangan haru sekaligus janggal di mataku. Sekelompok orang sedang memberinya beberapa sembako dan makanan ringan. Di arahkannya si Nenek untuk memegang apa yang mereka berikan.

Lalu mereka mengabadikannya dengan kamera ponsel. Untuk apa? Mungkin sesaat lagi kita akan melihat fhoto sang Nenek di beberapa media sosial. Dengan barang-barang pemberian orang-orang yang dia anggap baik.

Kuhentikan langkah. Duduk sebentar di bangku bambu, di bawah pohon Kersan yang biasa di sebut pohon Seri dengan warga sekitar. Seraya memperhatikan para tamu yang masih melakukan sesi fhoto bersama Nenek pemilik gubuk.

Sekitar 30 menit lamanya. Mereka semua meninggalkan gubuk itu. Tanpa peduli dengan cara apa Nenek tersebut memindahkan beberapa kardus ke dalam rumahnya.

"Assalamualaikum," ucapan salamku membuatnya menoleh, berusaha menajamkan penglihatannya.

"Walaikumssalam... siapa ya?"

"Nek... apa kabar? Saya Rahma, Nek," ucapku seraya mendekati dan meraih tangan yang sejak tadi berada di pangkuannya.

"Oh... Bu, Guru... silahkan duduk Bu," ujarnya seraya tersenyum. Tanpa bergeser dari tempat duduknya. Penglihatan yang mulai memudar membuat pergerakannya menjadi terbatas.

"Maaf, Nek... saya baru sempat menjenguk Nenek sekarang," ujarku berbasa-basi sambil menyerahkan kantong bingkisan yang kubawa.

Sumber Fhoto bing image kreator digital Ai
Sumber Fhoto bing image kreator digital Ai

Senyum terukir di sudut bibir kerutnya. Ucapan terimaksaih dan doa pun terucap. Nenek Daimah lantas mengambil kantong yang baru saja kuberikan memindahkannya ke atas pangkuan.

"Nek... simpan di sini saja, ini terlalu berat untuk di pangku," ucapku sambil berusaha memindahkan kembali kantong belanjaan tersebut dari tangannya.

"Tidak apa, Bu guru... Ibu mau potret saya, kan?" aku tersentak mendengar jawabannya. Ada geleyer rasa yang sulit kuartikan, menyelinap dalam ruang batinku.

Kupandang wajah wanita paruh abad di hadapanku. Sudah terlalu banyak orang yang menyakiti perasaannya. Meski mereka memberikan sebagian rejeki untuknya.

Mataku menghangat melihat senyum tulus yang selalu terukir sepanjang menerimaku di gubuknya ini.

"Nek... saya tdak membawa kamera mau pun ponsel. Bagaimana bisa saya memotret Nenek?" ucapku sedikit berbohong.

"Sejak kemarin banyak orang-orang yang datang kesini. Mereka selalu meminta saya untuk memegang bingkisan yang mereka bawa dan memotret saya, seperti artis saja," ucapnya seraya terkekeh.

Ada luka yang tak berdarah di balik kelakarnya. Meski ia tidak mengerti media sosial. Meski ia bukan orang yan faham tekhnologi. Tapi aku yakin ia tau maksud dan tujuan dari perbuatan orang-orang yang berbuat baik terhadapnya. Karena ia adalah mahluk yang memiliki rasa.

Entah apa yang ada dalam persaannya jika saja dia tau saat ini fhotonya sudah terpampang di semua medsos. Dengan membawa sekantong bingkisan.

Kualihkan pembicaraan dengan menawarkan diri untuk membantunya membawa kardus-kardus pemberian para tamu tadi. Dengan senang hati ia menerima bantuanku.

"Bu guru... sepertinya bingkisan-bingkisan itu terlalu banyak untuk saya, apa Ibu bisa membantu saya memberikannya kepada orang lain yang sama-sama membutuhkan?"

Kembali kupandang wajah renta. Ketulusan ucapan terpancar lewat binar matanya. Seorang yang miskin papa, masih memikirkan orang lain, tidak ada ketamakan dan kerakusan dalam jiwanya.

"Ini semua barang yang di butuhkan, Nenek. Kenapa harus di bagikan?"

Nenek Daimah menggeleng pelan. "Saya memang sangat membutuhkan, tapi tidak sebanyak ini."

"Nenek, baik sekali.... Semoga Allah memeberikan umur yang panjang," ucapku.

"Jangan.... Jangan doakan saya berumur panjang, saya sudah terlalu lama hidup, kalau saya hidup lebih lama lagi akan menyusahkan banyak orang."

Nenek Daimah memang bukan asli penduduk kampung ini. ia datang bersama satu orang cucu laki-lakinya beberapa tahun silam. Namun sang cucu pergi meninggalkan untuk selama-lamanya. Lantaran di hakimi masa karena tertangkap tangan sedang mencuri di salah satu rumah tetangga.

Sejak saat itu. Nenek Daimah seperti dikucilkan oleh warga. Aku kerap kali mengunjunginya, meski tidak sering. Karena menurutku seorang Nenek paruh abad ini tidak pantas mendapatkan penghakiman atas perbuatan mediang cucunya, yang di kalim warga sebagai pencuri.

Aku memilki sudut pandang berbeda dengan mereka, yang tidak tahu betapa solehahnya ia dalam menjalani hidup di sisa usianya.

"Assalamualaikum," suara salam membuyarkan lamunanku. Nenek Daimah berusaha bangkit dari duduknya, dan aku segera mencegah, lalu kutengok siapa yang datang.

"Maaf, Bu...apa tadi Ibu memanggil kami?" tanya salah seorang pemuda yang datang. Aku mengangguk membenarkan. Aku memang memanggil beberapa remaja masjid via aplikasi Whatssap. Untuk membantu memebersihkan pekarangan rumah nenek Daimah. Setelah memerintahkan beberapa remaja masjid untuk membersihkan pekarangan. Aku kembali kedalam.

"Nenek, dari mana?!" tanyaku terkejut karena kulihat nenek Daimah berjalan pelan menyusuri ruangan rumah. Padahal tadi aku sempat melarang ia bangkit dari duduknya.

"Saya belum sholat dzuhur," ujarnya dengan senyum lebar. Senyumnya terlihat tanpa beban.

Kuperhatikan gerakan-gerakan sholatnya. Dengan penglihatan yang terbatas untuk berjalan pun ia terlihat kesulitan. Tapi gerakan sholatnya terlihat ringan. Terkadang ia tersenyum dalam sholatnya. Sekali waktu terlihat air mata mengalir di pipinya.

Kuhampiri, Nenek Daimah yang masih berdzikir dalam simpuhnya. "Nek, saya mau pamit pulang... pekarangan ruma Nenek sekarang sudah bersih. Alhamdulillah, anak-anak remaja masjid yang membersihkannya," ucapku seraya menggenggam tangannya.

"Bu guru, orang yang sangat baik. Semoga Allah memberikan kemudahan dalam setiap urusan," ujarnya. Ia terus mengucapkan doa-doa untukku. Air matanya berurai membasahi mukena yang sudah tidak lagi putih warnanya.

Kuaminkan semua doa-doa tulusnya seraya mencium tangan tua yang membingaki wajahku. Dapat kubayangkan bagaimana ia bertahan hidup dengan segala keterbatasan. Puasa sunah yang selalu ia jalani bukan semata mencari pahala Allah Awt. Tapi karena tidak ada yang ia makan di hari-hari itu.

***

"Innalillahi wa innaillaihi rojiun," sura sepeaker majid memecah kesunyian selepas subuh di hari kedua ramadhan. Mengabarkan kematian Nenek Daimah. Aku tersentak. Tak percaya. Secepat ini Allah merangkul dalam pelukan-Nya.

Kupandang wajah nenek Daimah yang muncul di medsos entah siapa pemilik akunnya. Wajah tua yang datar tanpa senyuman sedang memeluk satu bingkisan di pangkuannya.

Masih sangat kurasakan tangan renta yang dingin menempel di kedua pipiku dengan mulut yang mengeluarkan doa-doa untuk keselamatanku. "Nek... maafkan mereka yang tidak sengaja telah melukai perasaanmu, mengoyak harga dirimu... semoga bahagia menjemputmu di sana."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun