"Maafkan aku, Bu...Ramadhan yang seharusnya aku sambut dengan gembira, ternyata masih menyisakan duka," air mataku tumpah membasahi hijab yang kukenakan. Serangan jantung yang membuat ibu pergi secara mendadak. Membuat jiwaku berkubang lara.
Aku terus menangis di atas pusara ibu, hingga lelah dan kantuk menyerang kelopak mataku yang sembab. Aku tertidur berimpuh di sisi pusara. Yang kurasa seperti tertidur di pangkuan ibu, nyaman sekali. Hingga aku merasakan belaian lembut tangannya.
"Hapus air matamu, Nak... ikhlaskan ibu, keikhlasanmu akan meringankan langkah ibu. Jaga ayah baik-baik," aku terbangun seketika.
"Ibu?... Ibuuuu!" seruku bagaikan orang gila, aku mencari keberadaannya. Hingga aku tersadar jika saat ini berada di pusara ibu.
Kuhapus air mata di pipi. Terimakasih bu... sudah datang dalam mimpiku. Aku janji air mata kesedihan ini tidak akan ada lagi. Aku terlalu larut dalam kedeihan. Hingga lupa akan harta yang paling berharga yang masih aku miliki saat ini. Ayah...
Ayah butuh aku. "Maaf kan aku bu... aku akan selalu memelukmu dalam doa. Aku ikhlas," gumamku seraya mengecup nisan ibu. dan bergegas meninggalkan separuh jiwaku yang terbaring dalam gundukan pusara. "Datanglah kembali dalam mimpi-mimpiku, Bu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H