MENANTI IBU PULANG
Satu petak rumah tanpa kamar, hanya sekat meja lapuk sebagai pembatas tempat untuk tidur dan dapur, pintu utama di sangga dengan kayu, sebab beberapa engselnya yang terlepas, kain batik yang mulai koyak di pilih sang ibu untuk sekedar menutupi kaca jendela yang sudah buram.
Tangis bayi memecah kesunyian hari, suara serak terdengar karena sudah terlalu lama menangis, seorang gadis kecil meraih gelas yang masih terisi setengah air teh manis yang dibuatkan ibu tadi pagi. Ia meminumkan air tersebut untuk menenangkan sang adik. Tapi... bayi beusia 2 bulan itu tidak juga berhenti menangis, apa yang bisa di lakukan kakak kecilnya? Hanya tepukan tangan mungil yang berusaha mendiamkan hingga akhirnya suara tangisan reda dan menghilang, adek bayi pun mulai terlelap.
"Jangan nangis lagi ya, Dek. Sebentar lagi ibu pasti pulang," setelah sang adik berhenti menangis, Anisa keluar di ambang pintu ia menatap sebuah proyek bangunan besar, "Ibu pasti pergi ke bangunan itu, pasti banyak yang akan ibu bawa pulang," batinnya.
Sejak tadi pagi ibu berangkat belum ada sesuap nasi pun yang ia makan, "Ibu... kapan pulang, Nisa Lapar," gumamnya seraya terus memegang perut dengan kedua tangannya.
"Jaga adik baik-baik ya... jangan pergi kemana-mana sebelum ibu pulang, nanti ibu bawakan pisang goreng," janji ibu pagi itu, sebelum berangkat mengais rejeki sebagai pemulung, demi sesuap nasi dan biskuit untuk adek bayi. Kepada anak perempuannya yang belum genap 6 tahun.
Sore manggantung di lazuardi tapi ibu belum kembali, gadis kecil itu masih membayangkan sang ibu pulang dengan menenteng kantong plastik berisikan pisang goreng kesukaannya.
Anisa, seorang anak yang terlahir dalam potret kehidupan keluarga yang terblenggu kemiskinan, latar belakang yang cukup tragis, Ayah yang berjuang di jalanan sebagai tukang sol sepatu keliling, pergi meninggalkannya setahun yang lalu, menjadi korban tabrak lari sebuah truk pengangkut batu. Beberapa hari kepergian sang ayah, ibu Anisa baru menyadari jika saat itu ia sedang hamil muda.
Sejak saat itu hidup mereka menjadi tidak menentu, sering sekali tidak ada nasi di rumah, karena hanya ibu yang mencari uang sebagai pemulung, pernah ibu menjadi buruh cuci, tapi gaji yang diberikan sang majikan satu bulan sekali, hingga akhirnya ibu memutuskan untuk memulung barang bekas agar mendapatkan uang setiap hari meskipun sedikit, untuk sekedar membeli beras agar dapat menyambung hidup bersama kedua anaknya.
Beberapa program pemerintah yang ramai di bicarakan sedikit pun belum pernah di terima, pernah satu hari Anisa dan Ibu sedang berjalan melintasi kerumunan antrian orang yang sedang mengambil beras program pemerintah. "Mereka sedang apa Bu," tanya Nisa.
"Ibu juga tidak tahu, hanya kabarnya hari ini ada pengambilan beras dari pemerintah," jelas ibu.
"Ayo, Bu... kita ikut ngambil," ajak Anisa polos.
"Tidak bisa, Nak... hanya yang memiliki kupon yang bisa ambil dan Ibu tidak punya kuponnya,' jawab ibu seraya tersenyum.
"Kenapa pemerintah tidak bagi rata kuponnya? Kita juga, kan butuh beras sama seperti mereka," ucap Anisa kembali seraya menatap ibunya.
"Ini, kita sudah punya untuk makan hari ini," jawab sang ibu seraya mengangkat tentengan di tangannya, merka pun tertawa dan kembali berjalan menuju rumah dengan menenteng 1 liter beras dan 1 bungkus biskuit untuk adek bayi hasil keringat ibu hari itu.
Kini wanita yang terlihat lebih tua dari usia sebenarnya, tengah menangis dalam sel salah satu kantor polisi, membayangkan kedua bocah yang menanti kepulangannya di rumah.
Siang tadi di saat ia sedang mengais barang-barang bekas di dalam proyek, tiba-tiba securty menyeretnya, ia dianggap telah mencuri barang-barang bekas tersebut, padahal yang ia ambil hanya botol-botol plastik, ember-ember kecil bekas cat, hanya saja ia sedikit mengambil besi-besi sisa potongan, itulah yang membuat ia di tuduh sebagai pencuri.
Ia membayangkan jika menjual besi-besi itu, pasti hasilnya akan lebih banyak, toh jika pun besi-besi itu tidak di amabil hanya akan terus bertumpuk dan hangus di makan karat, karena sudah banyak sekali tumpukan-tumpukan besi tua yang terbengkalai.
Namun takdir berkata lain, semua tidak sesuai dengan apa yang di bayangkan, sekarang ia di tuduh sebagai pencuri, dan anak-anak menjadi korban.
Semua tidak ada yang mau mendengar penjelasannya, meski ibu muda tersebut sudah berkali menjelaskan dengan berurai air mata.
"Baik, Pak... jika memang saya harus di penjara, tapi... saya mohon ijinkan saya pulang terlebih dahulu, di rumah anak-anak saya masih sangat kecil untuk di tinggal tanpa berpamitan," ujarnya setengah mengiba.
"Tidak perlu banyak alasan!" ucap penjaga kantor polisi tersebut seraya mendorong wanita itu ke dalam sel sempit.
"Ya.... Allah aku titip anak-anakku, Kau yang maha segalanya," gumamnya setelah merasa lelah menangis dan berteriak.
Sementara Anisa, bocah yang belum memahami kerasnya kehidupan tapi sudah merasakan pahitnya kemiskinan, ia terus memandang ke ujung jalan dengan senyum yang tak lepas dari sudut bibirnya, membayangkan sang Ibu pulang dengan membawa pisang goreng, atau sebungkus nasi, karena saat ini perutnya sudah sangat perih menahan lapar.
Ketika ibu pulang nanti Nisa akan bilang jika ia sudah menjadi anak baik, menjaga adik sampai ibu kembali. Sekarang adik sudah tertidur dengan lelap, dia tidak menangis lagi.
Anisa tidak pernah tahu jika adik bayinya, terpejam dalam tidur panjang dengan tenang.... Terlelap untuk selamanya, sang adik telah pergi dengan membawa rasa haus dan dahaga.
*Untuk mereka yang hidup dan berjuang di bawah garis kemiskinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H