Mohon tunggu...
neneng salbiah
neneng salbiah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada buku yang ingin kau baca, namun kau tak menemukannya, maka kaulah yang harus menulisnya!

Apa yang kamu lihat itu adalah berita. apa yang kamu rasakan itu adalah puisi dan apa yang kamu khayalkan itu adalah fiksi. saya berharap pembaca tidak menghakimi tulisan-tulisan yang ada di blog ini. karena saya penulis pemula. belum pandai dalam menata ide pokok cerita dalam sebuah paragraf yang sempurna. Seorang ibu rumah tangga yang sedang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Wanita di Balik Jendela

2 Februari 2024   16:53 Diperbarui: 7 Februari 2024   20:49 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Wanita di Balik Jendela. (Sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com) 

Lelaki dengan tubuh kekar, meski tatapan mata yang tak setajam dulu, senyumnya yang selalu merekah kini nyaris hilang dari hari-harinya, dan aku hanya mampu menatap sendu di balik jendela, melihat raut wajah penuh luka dan duka yang tak dapat di sembunyikan.

Bima, laki-laki tampan, postur tubuh tinggi besar, dengan alis tebal dan rahang yang tegas, jauh merantau dari kampung halaman demi mengapai cita-cita, bertarung melawan segala rintangan demi beasiswa, yang membuatku selalu bangga berjalan di sisinya.

Duduk sendiri di salah satu kafe, Sesekali Bima, mengecek ponselnya. Dia sedang menunggu seseorang.

"Bima!!" seru wanita cantik melambaikan tangan ke arahnya, berdiri di ambang pintu masuk kafe, senyum ceria mengiringi langkah menuju Bima, yang menyambut dengan senyum.

Aroma lavender menyeruak kepenciuman. Aroma khas wanita cantik nan anggun, yang membuat Bima terpedaya dan melabuhkan cinta kepadanya.

Gadis itu adalah Mita, teman satu kampus dan Bima mengenalnya setelah kepergianku. Perkenalan mereka adalah awal hidup baru bagi keduanya.

Aku kerap kali menyaksikan canda, tawa dan kemesraan mereka dari sini, dari balik jendela, dari sudut hidup yang tak nampak. Memandang dengan iba, semua yang terjadi dalam hidup laki-laki yang sangat aku cintai, selepas hari naas itu.

Kerap kali kusaksikan kebersamaan mereka dari balik jendela, dari dunia yang tak nampak (sumber fhoto/iStock)
Kerap kali kusaksikan kebersamaan mereka dari balik jendela, dari dunia yang tak nampak (sumber fhoto/iStock)

Kecelakaan itu sudah memisahkan aku dengannya, nyawa terlepas dari raga. Aku pergi dengan membawa cinta dan meninggalkan duka untuk seseorang yang kusayang.

"Ada yang ingin, kubicarakan," ucap Bima seraya menyodorkan secangkir capuchino hangat yang sudah ia pesan sebelum Mita tiba. Kebiasaan manis yang sering kali Bima lakukan, pun saat aku masih bersamanya dulu.

"Heum," jawab Mita sambil menopang dagu dengan kedua tanganya yang bertumpu di atas meja.

Kegelisahan terlihat dari gestur tubuh Bima, ia menyandarkan tubuh, merubah posisi duduk, menyilangkan kedua tangan di dada, lalu kembali merubah posisi dengan melipat kedua lengan di atas meja, menatap lekat wanita di hadapannya, sesekali helaan nafas berat keluar dari mulutnya.

"Ada apa, Bim.... Bicaralah," ucap Mita, sentuhan lembut jemari Mita menyentuh lengan Bima, Bima pun menautkan jemarinya, telapak tangan kokohnya menggenggam erat tangan Mita. Genggaman hangat yang dulu sering kurasakan.

Seraya menatap nanar mata wanita yang saat ini berusaha ia cintai, Bima ingin menyampaikan satu kebenaran tentang perasaannya, tentang cintanya meski mungkin akan menyakitkan, namun ia tak mampu menyimpan terlalu lama.

"Sampai detik ini aku belum mampu melupakan Kinan, Maaf.... Dia terlelu melekat dalam hatiku dan aku tak mampu...."

"Cukup!" seru Mita cepat, memotong ucapan Bima.

"Aku tahu ke arah mana pembicaraanmu... Bim... Kinan sudah tenang di alam sana, dan kamu.... Stop! Menyalahkan diri sendiri, kecelakaan itu takdir yang sudah Tuhan gariskan, semua bukan salah kamu," tutur Mita menenangkan.

Aku tersenyum di balik jendela, mendengar ucapan Mita, ya.... kecelakaan yang kami alami, bukan salah Bima, bukan salah siapa-siapa, namun Bima selalu menyalahkan dirinya atas semua yang terjadi, meski ia selalu berusaha melupakan semua.

Dengan menjalin hubungan bersama Mita, Ia berharap dapat melupakan aku, melupakan cintanya kepadaku. Membuang semua kenangan yang menyisakan duka dan penyesalan.

Malam itu, Bima mengendari motornya dengan kecepatan sedang, suasana yang gelap, kondisi jalan licin, rintik gerimis mulai membesar, kurapatkan tubuhku dengan memeluk punggung Bima, untuk menghalau rasa dingin.

Dari arah berlawanan, sebuah minibus meluncur dengan cepat, benturan hebat tidak dapat terelakkan, Bima tergeletak di tengah jalan, aku bangkit seketika, namun aku melihat tubuhku pun tergeletak dengan darah yang mengalir bercampur air hujan, dari balik tengkuk kepalaku.

Aku menangis bahkan berteriak, saat melihat tubuh Bima di masukkan kedalam ambulance dalam kondisi tak sadarkan diri. Begitu pun dengan jasadku yang di evakuasi ke dalam ambulnace yang berbeda, setelah semuanya sunyi, baru kusadari jika aku berada di dimensi yang berbeda.

"Aku tau batas kesanggupanku, aku takut jika akhirnya menyakiti hatimu lebih jauh lagi, Kinan sudah hidup dan tumbuh di sini, tanpa bisa aku melupakannya," ucap Bima seraya menepelkan sebelah tangan di dadanya.

"Mita, terimakasih sudah membantuku sejauh ini, aku minta maaf jika akhirnya aku tidak bisa, kamu tau bagaimana rasa sakitnya aku, kehilangan Kinan."

"Ini pun sangat menyakitkan untuku, Bim," ucap Mita berurai air mata.

"Sekali lagi, aku minta maaf, tolong hargai keputusanku, sebelum semuanya terlanjur jauh dan itu akan lebih menyakitimu."

Deras air mata Mita membasahi pipinya, harapan yang hancur karena masa lalu, kenangan yang seharusnya terkubur bersama jasadku, namun semua itu masih tetap hidup bersama Bima.

Seandainya bisa ingin kukatakan. Jika sampai detik ini, aku pun masih sangat mencintainya, tapi... sekarang kita hidup di dunia yang berbeda, aku ingin Bima melanjutkan hidup dan berbahagia bersama yang lain.

Bima bangkit dari duduknya, sesaat ia berdiri di samping Mita yang menahan tangis, berusaha membendung luapan air mata.

Ia menyentuh lembut bahu wanita itu, ini tidak harus terjadi seandainya Bima mampu melupakan egonya yang selalu menyalahkan diri sendiri.

"Maafkan aku Mit," ujarnya lirih, guncangan bahu Mita tidak membuatnya merubah keputusan.

Aku ingin iya hidup bahagia meski tanpa aku. (Sumber fhoto/iStock)
Aku ingin iya hidup bahagia meski tanpa aku. (Sumber fhoto/iStock)

Ia pun berlalu meninggalkan Mita. Apakah aku harus senang atau sedih saat aku tahu jika Bima tidak bisa melupakanku.

Tapi... ada air mata wanita lain yang Bima tinggalkan, torehan luka akan kenangan yang tak dapat ia lupakan, meninggalkan rasa sakit dan kesedihan untuk Mita.

Di sini, di ujung dunia yang berbeda, aku selalu berharap Bima menemukan kebahagiaan, meski tanpaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun