Mohon tunggu...
Neneng Maulyanti
Neneng Maulyanti Mohon Tunggu... Dosen - perempuan

pensiunan PNS dan dosen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pewarisan Nilai Budaya Jepang

18 Oktober 2021   19:28 Diperbarui: 18 Oktober 2021   19:44 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

'Bangsa Jepang cinta kebersihan', 'Bangsa Jepang menghargai waktu', 'Bangsa Jepang sopan, 'Bangsa Jepang tekun dalam bekerja', begitulah slogan-slogan yang sering kita temukan di banyak tulisan tentang bangsa Jepang. Pujian-pujian yang mengalir tak habisnya bagi bangsa Jepang ini, melahirkan keingintahuan banyak orang terkait sistem nilai budaya Jepang, dan cara bangsa Jepang mewariskan nilai budaya mereka sampai membentuk karakter mayoritas bangsa Jepang.

Beberapa peristiwa menarik yang terjadi selama saya menjalani training di Jepang, dapat dijadikan bukti bahwa slogan-slogan tentang bangsa Jepang di atas bukanlah isapan jempol belaka.

Suatu hari saya membeli dompet kecil yang terbuat dari kain dengan sulaman khas Jepang di Dais. Dais adalah nama toko kelontong yang menjual pernak Pernik dengan harga 100 untuk semua item. Ketika saya hendak membayar di kassa, dengan sopan kasir menganjurkan saya untuk menukar dompet tersebut, karena terdapat benang yang mencuat di bagian bawahnya. Ternyata tidak ada lagi dompet dengan bentuk dan jenis yang sama, sehingga kasir menyarankan agar saya memilih barang lain. 

Berhubung saya sudah benar-benar suka dengan dompet tersebut, maka saya berkeras membelinya tanpa mempersoalkan kekurangan yang ada. Setelah kasir membicarakan hal tersebut kepada supervisornya, akhirnya saya diperbolehkan membeli barang tersebut dengan setengah harga, yakni 50 saja. 

Sesungguhnya kasir bisa saja mengabaikan kondisi barang yang dijual, mengingat hampir semua pedagang ingin meraih keuntungan sebesar mungkin. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku di tengah masyarakat Jepang, sehingga lebih meyakinkan saya, bahwa salah satu sifat baik orang Jepang adalah jujur dan tidak mau merugikan orang lain.

Hal menarik terjadi pula di lingkungan training center. Sebagai informasi, semua trainee (peserta pelatihan) memiliki kartu makan, yang jumlahnya cukup untuk digunakan pada saat sarapan, makan siang dan makan malam. Kartu makan hanya digunakan dari hari Senin sampai Jumat siang, karena sejak Jumat malam sampai Minggu malam, ruang makan ditutup. 

Saya yang tidak terbiasa makan banyak, biasanya menggunakan jumlah yang tersisa di kartu makan untuk membeli minuman dan makanan ringan yang bisa di simpan di dalam kulkas (lemari es) yang tersedia di kamar. Suatu hari, seorang karyawan center makan siang di ruang makan. 

Dia memilih tempat duduk tepat di depan saya, sehingga terjadilah obrolan ringan sambil menanti antrian yang cukup panjang. Setelah antrian tidak terlalu padat, kami pun masuk ke barisan untuk mengambil makanan sesuai selera masing-masing. Setelah saya membayar makanan dengan menggunakan kartu, saya menawarkan kepada karyawan center tersebut untuk membayar makanannya dengan menggunakan kartu saya. 

Akan tetapi yang bersangkutan menolak. Sebelum bersantap, dia menjelaskan bahwa kartu makan hanya diperuntukkan bagi semua trainee, dan karyawan center tidak diperkenankan menggunakan kartu tersebut. Kejadian ini menunjukkan bahwa kejujuran, loyalitas, dan harga diri yang tinggi nampaknya memang sudah mengakar di dalam karakter kebanyakan orang Jepang.

Apakah nilai-nilai moral yang terkadung di dalam karakter bangsa Jepang merupakan warisan leluhur mereka? Untuk menjawabnya, kita harus menelusuri perjalanan budaya Jepang.

Sebelum budaya Cina dikenal oleh bangsa Jepang, Sistem nilai budaya Jepang sangat dipengaruhi oleh aliran Shinto. Dalam ajaran Shinto terdapat penguasa yang disebut 'kami'. Kami ini tidak hanya satu, akan tetapi terdapat banyak Kami yang bila di terjemahkan dalam bahasa Indonesia dapat disamakan dengan Dewa-Dewi. Ada kepercayaan yang kuat pada leluhur bangsa Jepang bahwa kaisar-kaisar Jepang merupakan keturunan dari Amaterasu (dewi matahari), sebagaimana dijelaskan oleh Busch (1972: 17).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun