Mohon tunggu...
Neneng Maulyanti
Neneng Maulyanti Mohon Tunggu... Dosen - perempuan

pensiunan PNS dan dosen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kehidupan Masyarakat di Pulau Singkep, Kepulauan Riau

15 Oktober 2021   08:30 Diperbarui: 15 Oktober 2021   08:36 1495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

(Tulisan ini merupakan potret masyarakat pulau Singkep sampai tahun 1992)

Pulau Singkep berada di propinsi kepulauan Riau. Letaknya di antara pulau Sumatera dan Kalimantan, di sebelah utara pulau Belitung dan sebelah selatan pulau Lingga. Pulau Singkep yang masuk di dalam kabupaten Lingga ini memiliki luas hanya 757 km2 dengan penduduk sekitar 37.000 jiwa. Ibu kota pulau Singkep adalah Dabo Singkep.

Masyarakat di pulau Singkep sangat beragam. Baik dilihat dari etnis, agama, maupun profesi.

Etnis

Sebagaimana diketahui bahwa pulau Singkep berada di dalam rumpun kepulauan di area laut Cina Selatan. Hal ini mengindikasikan bahwa pulau Singkep masuk ke dalam alur lalu lintas pelayaran nasional dan internasional. Dengan demikian, pulau Singkep menjadi salah satu destinasi bagi para imigran dari luar Indonesia, khususnya pada masa pulau Singkep masih terkenal sebagai pulau penghasil timah. Dengan kekayaan alam yang dapat membuat infrastruktur pulau ini terbangun, tentunya bekerja atau membuka usaha di pulau Singkep menjadi impian bagi para imigran. Hal ini terlihat jelas dari keberadaan etnis non Indonesia asli yang mendiami pulau ini, seperti: etnis Cina, etnis Arab, dan etnis India.

Imigran yang tidak pernah berhenti masuk ke pulau Singkep adalah imigran dari Cina, sehingga jumlah etnis Cina yang akhirnya menetap dan berkembang di pulau Singkep sangat banyak. Kebanyakan dari mereka membuka usaha dengan cara berdagang (membuka toko), membuka tempat perjudian, mengadakan kerjasama dengan UPTS (Unit Pertambangan Timah Singkep) dalam pengadaan barang dan jasa, dan ada pula yang berkebun.

Sampai kira-kira tahun 1970-an, masih terasa adanya jarak antara etnis Cina dengan penduduk asli. Hal ini disebabkan, banyak dari mereka yang belum benar-benar fasih berbahasa Indonesia atau berbahasa Melayu. Bahkan mereka mendirikan sekolah bagi anak-anak mereka, yang lokasinya berada di dekat area pertokoan. Gedung sekolahannya pun dikelilingi benteng tinggi, sehingga memperlebar jarak antara mereka dengan penduduk setempat. Pada tahun 1970 pemerintah setempat mengeluarkan keputusan untuk menutup sekolah tersebut, dan para siswanya dipindahkan ke sekolah-sekolah negeri yang ada di Dabo Singkep. Hal ini berarti, terjadi pembauran nyata antara anak-anak penduduk setempat dan anak-anak etnis Cina. Dengan kata lain, jarak yang memisahkan antara penduduk setempat dan etnis Cina nyaris hilang, dan melahirkan suatu kehidupan yang lebih harmonis daripada sebelumnya.

Agama

Dengan banyaknya Etnis Cina di pulau Singkep, dan kemudian membangun vihara/kelenteng, artinya penganut agama Budha dan Khong Hu Chu di pulau Singkep tidaklah sedikit. Dengan demikian terdapat paling tidak 3 agama yang diakui di pulau Singkep, yakni: Islam (aliran Muhamaddiah dan Persis), Kristen (Katolik, Protestan, Pantekosta, dan Advent), dan Budha (termasuk Khong Hu Chu).

Ketiga agama hidup secara harmonis. Nyaris tidak terlihat adanya sikap-sikap primordialisme (mengagungkan agama masing-masing) pada diri penduduk yang membuat terjadinya benturan antar agama. Bahkan dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu banyak, maka setiap perayaan agama seakan-akan menjadi hari besar bersama. Pada saat hari besar agama Islam, seperti: idul fitri, idul adha, dll, kemeriahannya dirasakan oleh semua penduduk, seakan-akan perayaan tersebut mendatangkan kebahagian bagi semua orang tanpa kecuali. Semua orang dengan mengenakan baju baru atau rapi, 'saling berkunjung' ke rumah orang-orang yang merayakannya, baik untuk mencicipi makanan maupun bersalaman. Saling berkunjung di sini diartikan bahwa bila rumahnya telah dikunjungi, maka akan membalas kunjungan tersebut. Sementara anak-anak mendatangi rumah para pejabat UPTS dengan tujuan mendapat kue atau amplop lebaran. 

Pada saat perayaan Natal, orang-orang berkunjung ke rumah mereka yang beragama kristen. Sebagaimana di hari lebaran Islam, anak-anak turut sibuk mengunjungi para pejabat UPTS yang beragama Kristen untuk mendapatkan amplop. Selain Natal, anak-anak menanti perayaan Paskah, karena para pejabat yang merayakan hari Paskah selalu menggelar acara 'mencari telur Paskah' yang kulitnya sudah diwarnai. Semakin banyak telur yang ditemukan, maka semakin terbuka kemungkinan untuk meraih hadiah-hadiah yang sudah dipersiapkan oleh panitia paskah. Anak-anak yang turut serta dalam acara tersebut bukan hanya mereka yang menganut agama Kristen saja, sehingga terasa sekali kemeriahan Paskah.

Begitu pula di saat perayaan Imlek.  Suasana meriah dapat dirasakan oleh semua kalangan, karena selain toko-toko dihiasi kertas warna, juga ada saat di mana sebuah kendaraan berjalan melintasi jalan utama dengan menyebar angpau, dan anak-anak berlarian di belakang kendaraan tersebut untuk mendapatkan angpau yang disebar.

Profesi

Sebagaimana di daerah lain, profesi masyarakat di pulau Singkep juga sangat beragam. Selama UPTS masih berjaya, terdapat profesi yang dianggap primadona di sana, yaitu berprofesi sebagai pejabat UPTS. Hal ini terkait privilege (keistimewaan) yang didapat para petinggi UPTS. Misalnya, menggunakan kolam renang yang memang hanya satu-satunya di Dabo Singkep, memperoleh rumah hunian yang bagus (bekas orang Belanda yang pernah menghuni Dabo Singkep) di area perbukitan, dapat pergi ke luar Singkep dengan mengendarai pesawat terbang secara gratis, dapat melakukan berbagai kegiatan secara gratis di gedung timah, seperti: menonton film, pesta, bilyard, bowling, tenis, dan sebagainya.

Fasilitas yang diterima para pejabat tinggi UPTS, tentu saja dapat membuahkan kecemburuan sosial pada masyarakat biasa, dan berdampak pada munculnya jarak antara anak-anak para pejabat tersebut dengan anak-anak lain (anak pegawai biasa di UPTS, penduduk asli, dan etnis non penduduk asli), dan memunculkan istilah 'anak staf' yang ditujukan bagi anak-anak para pejabat tinggi. Meskipun anak-anak tersebut bersekolah di sekolah yang sama, namun mereka jarang berbaur di dalam kehidupan di luar sekolah. Sesungguhnya, tidak berbaurnya 'anak staff' dengan anak lainnya, bukan disebabkan jabatan orang tua mereka, namun lebih kepada lokasi rumah mereka yang selain di atas perbukitan, juga jaraknya tidak dekat dengan perumahan penduduk non staff. Perlu diketahui, bahwa tidak tersedia transportasi umum di pulau Singkep, sehingga sulit bagi anak-anak untuk pergi bermain ke perumahan teman-teman mereka yang berlokasi di luar perbukitan.

Meskipun terasa adanya jarak dalam pergaulan antara para pejabat tinggi UPTS dan penduduk lainnya beserta keluarga, namun tidak pernah sekalipun terjadi bentrokan antar warga, benturan antar suku, konflik antar agama, apalagi tawuran remaja. Bahkan bila terjadi pertikaian antar individu pun, dapat segera diselesaikan.

Kehidupan yang harmonis sebagaimana yang dapat dirasakan di pulau Singkep, tentunya layak dipertahankan oleh semua penduduk pulau Singkep, dan diikuti oleh kelompok masyarakat lainnya di bumi nusantara ini, sehingga kebinekaan masyarakat Indonesia bisa benar-benar menjadi kekayaan dan kekuatan bangsa ini untuk mampu bersaing di dalam dunia global. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun