Mohon tunggu...
Nenden Maya
Nenden Maya Mohon Tunggu... -

Seorang ibu merangkap PNS, lagi pengen belajar nulis,untuk persiapan pensiun.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Harga Dirinya Cuma Sebatas Rp 20.000,00

13 April 2012   03:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:40 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Lama rasanya aku tidak pernah lagi menginjakan kaki di tempat yang oleh pandangan umum disebut sebagai tempat untuk menegakkan keadilan, dialah Lembaga Pengadilan (entah Negeri ataupun PTUN). Penanganan perkara ini memang sudah aku tinggalkan sejak 6 tahun yang lalu, karena aku dipindahtugaskan untuk membuat regulasi di instansi dimana aku bekerja. Namun apa boleh buat sejak 2 bulan yang lalu aku dimutasi ke kantor operasional, dan ditempatkan kembali di bagian hukum yang salah satu tugasnya adalah menangani perkara, mau tidak mau aku harus kembali mengunjungi Lembaga Peradilan. Satu tempat yang paling aku benci, karena kotornya permainan disana.

Dari mulai anda menginjakan kaki untuk berperkara yaitu mendaftarkan surat kuasa, anda pasti diminta untuk menyetorkan sejumlah uang, yang biasa dinamakan biaya administrasi. Biaya pendaftaran surat kuasa yang sebetulnya tidak ada dalam SOP Pengadilan Negeri/TUN.

Untuk mereka para Pengacara/advokat yang berhonor bisa ratusan dollar per menit, uang seratus, dua ratus ribu bahkan mungkin bisa sampai 1 juta, memang tidak ada harganya, tapi untuk para petugas macam aku yang berasal dari instansi pemerintah dan gajinya sudah bisa diitung dengan jari, biaya ini sangatlah membebani.

Kelakuan para petugas di bagian pendaftaran surat kuasa ini, dari tahun jebot sebelum angin reformasi berhembus, hingga sekarang ketika reformasi birokrasi yang katanya sudah ditegakkan, ternyata masih tetap punya mental sama yaitu mental pengemis. Aku nyatakan demikian karena mereka sering terang-terangan tanpa malu-malu meminta biaya administrasi. Jika biaya tersebut resmi dari lembaga peradilan seharusnya mereka mau mengeluarkan kuitansi, sehingga aku tidak kesulitan untuk mengklaim ke kantor, berapapun biaya yang diminta. Namun kenyataannya, mereka dengan tidak malu-malu pula menyatakan bahwa tidak dapat mengeluarkan kuitansi. Entah di daerah mana sekarang ini kebiasaan petugas administrasi di bagian pendaftaran surat kuasa ini sudah tidak lagi bertingkah macam preman, coba saja barangkali ada pembaca yang mengetahuinya.

Kejadian yang baru kualami kemaren siang di sebuah lembaga peradilan, dapat aku ceritakan dalam dialog berikut:

Aku : siang pak, saya mau ambil surat kuasa yang sudah didaftarkan oleh rekan saya, untuk saya serahkan kepada panitera.

Petugas : oh iya bu, tapi Maaf bu, sebelum ibu ambil surat kuasa ini, saya beritahu bahwa ada biaya administrasi

aku : ooh, berapa biayanya, pak?

Petugas : serelanya saja bu.

Aku : iya tapi berapa ya pak, saya gak punya uang kalau harus bayar banyak-banyak, dan kalau memang ada biaya administrasi tolong kasih saya kuitansi supaya saya bisa mengklaim ke kantor saya.

Petugas : tidak ada bu....sudah ibu kasih berapa aja, serelanya...

Aku : adanya cuma segini pak (sambil menyerahkan uang kembalian dari tukang sayur, dengan kondisi masih terlipat2 dan lecek) sebanyak Rp 20.000.,

Petugas : ya sudah bu tidak apa-apa (sambil menerima uang tersebut)

Sungguh kejadian pada siang itu membuatku tidak habis fikir, ternyata di era reformasi seperti ini, mental preman masih saja melekat di lingkungan peradilan dimana seharusnya manusia yang bekerja dan mengabdi di sana harus bertingkah mengayomi masyarakat pencari keadilan. Sungguh aku tidak menduga bahwa dibalik safari yang mentereng, dan Blackberry  yang ditenteng, ternyata masih bersembunyi mental pengemis sehingga uang lecek Rp 20.000 saja masih diterima dengan senang hati.

Aku jadi berfikir, apakah petugas tersebut memang tidak punya harga diri???? ataukah gaji yang didapat masih kurang???? siapa yang salah dalam hal ini?????

Sepanjang jalan, aku merenung.... alangkah rendahnya nilai manusia semacam itu, di balik safari masih meminta uang receh Rp 20.000, subhanallah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun