Dinamika sosial-politik dan pengaruhnya terhadap posisi kaum perempuan dalam diplomasi kebudayaan Indonesia pada periode 1945 hingga 1960-an. Ada dua faktor utama yang mempengaruhi peran perempuan dalam diplomasi kebudayaan, yaitu kebijakan politik luar negeri Indonesia dan meluasnya gerakan feminisme di Indonesia.
Seiring dengan dinamika sosial dan politik, perempuan dianggap sebagai "the others" atau "konco wingking," diartikan sebagai sosok yang harus tunduk dan patuh pada laki-laki. Konstruksi masyarakat yang patriarkis membagi kehidupan sosial menjadi dua ranah, yaitu ranah publik yang dikuasai oleh laki-laki dan ranah privat yang identik dengan pekerjaan domestik.
Munculnya gerakan feminisme di Indonesia, terutama setelah Perang Dunia II, membawa perubahan. Pada awalnya, perempuan memasuki ranah publik selama perang, tetapi setelah perang berakhir, posisi mereka kembali termarginalkan. Kesadaran akan ketidaksetaraan memicu gerakan feminisme, dan konferensi seperti Konferensi Wanita se-Asia di Beijing pada 1949 menyuarakan kesetaraan gender.
Perubahan ini juga tercermin dalam politik luar negeri Indonesia. Masuknya perempuan ke dalam diplomasi kebudayaan didorong oleh politik luar negeri Indonesia yang ingin menunjukkan eksistensinya di dunia internasional. Pada masa perang, perempuan aktif dalam bidang kebudayaan menjadi bagian dari strategi untuk menunjukkan keberadaan Indonesia pada dunia internasional.
Pada periode ini, terjadi pengakuan hak-hak perempuan, seperti hak untuk berpolitik, yang ditegaskan melalui keterlibatan perempuan dalam Pemilihan Umum 1955. Pengakuan hak ekonomi perempuan juga diwujudkan melalui Undang-Undang No. 80/1958 tentang penyamarataan upah bagi pekerja laki-laki dan perempuan.
Peran perempuan dalam diplomasi kebudayaan semakin terlihat pada tahun 1950-an. Pemerintah Soekarno melibatkan perempuan yang memiliki prestasi dalam seni dan kebudayaan, seperti Effie Tjoa, seorang penyanyi sopranis Indonesia pertama yang turut dalam delegasi diplomasi kebudayaan. Kehadiran perempuan penyanyi seriosa menjadi penting dalam konteks diplomasi kebudayaan Indonesia karena musik tersebut dianggap simbol modernitas yang dikenal oleh Eropa.
Pada pertengahan 1950-an, Pemerintah Indonesia meresmikan pengiriman delegasi misi kebudayaan resmi pertama, yang menjadikan diplomasi kebudayaan sebagai agenda resmi politik luar negeri Indonesia. Setelah Konferensi Asia Afrika 1955, diplomasi kebudayaan semakin menjadi bagian penting dari politik luar negeri Indonesia.
Peran perempuan dalam misi diplomasi kebudayaan tidak terbatas pada figur perempuan elit, tetapi juga melibatkan perempuan dari berbagai lapisan masyarakat, seperti pelajar dan mahasiswi. Perempuan terlibat dalam delegasi-delegasi diplomasi kebudayaan yang dikirimkan ke berbagai negara, baik yang berafiliasi dengan Blok Timur maupun Blok Barat.
Dalam konteks diplomasi kebudayaan, perempuan terlibat dalam pameran kesenian, konser musik, dan penampilan tarian tradisional. Mereka memainkan peran penting dalam menjembatani pertemuan antara Indonesia dengan negara-negara lain, serta dalam memperkuat citra Indonesia sebagai aktor dunia ketiga dalam politik internasional.
Sejarah juga mencatat bahwa perempuan terus terlibat dalam diplomasi kebudayaan Indonesia pada periode 1960-an, dengan keterlibatan dalam delegasi-delegasi kebudayaan yang dikirimkan ke negara-negara seperti China, Rusia, Malaya, Singapura, dan Amerika Serikat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H