Ngebolang tak harus jauh-jauh. Mengenali obyek wisata di daerah sendiri, ternyata lebih dari bermanfaat. Nah, pada hari minggu, 31 Agustus 2014 lalu, bocah Sanggar Sapu Lidi Lereng Merapi berwisata budaya ke beberapa Candi yang cukup dikenal. Candi Lumbung, Candi Pendem, dan Candi Asu. Nama-nama yang unik.
Beberapa dari kami menggunakan kendaraan bermotor, dan anak-anak sanggar sapu lidi mengendarai mobil pickup bersama-sama. Nyanyi-nyanyian dan canda tawa mereka menyemarakkan perjalanan sore kami. Kami bertolak dari Sanggar Sapu Lidi di Dusun Diwak, Desa Sumber menuju Candi Lumbung yang berada di Dusun Tlatar, Desa Krogowanan, Sawangan, Magelang. Kira-kira letaknya 8 km dari basecamp Sanggar Sapu Lidi.
Candi Lumbung ini melambangkan kemakmuran pada masa lampau. Dulunya Candi Lumpung berdiri di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut di lereng Barat Gunung Merapi. Kini, candi telah pindah, pascaerupsi Merapi 2010 karena aliran lahar dingin mengancam candi ini. Dua meter dari candi Hindu ini, ada Sungai Pabelan dengan tebing curam setinggi 14 meter. Lokasi candi ini sangatlah tersembunyi pada awalnya, sekarang, sangat mudah ditemukan. Sepetak tanah milik desa menjadi tempat berdirinya candi yang memiliki tinggi 6,5 meter dan luas 8 x 8 meter tersebut.
Selain Candi Lumbung, ada trilogi candi di daerah perbatasan dua kecamatan, Dukun dan Sawangan. Yaitu, Candi Asu dan Candi Pendem. Ketiga candi ini memiliki kubah sumur diatasnya, yang menurut mitos dahulu digunakan sebagai penyimpanan air suci untuk ritual keagamaan.
Nah, setelah puas berfoto ria dan mengilas balik mitos tentang candi Lumbung, saatnya kami beranjak menuju Candi Pendem yang letaknya tak jauh dari Candi lumbung. Kami menyusuri sawah dan ladang,juga kebun sengon. Candi Pendem ini ternyata berletak di tengah lahan pertanian warga sekitar. Lokasi yang sangat unik, yaitu nampak berada di bawah tanah seolah-olah terbenam di tanah yang datar, yang kemudian dinamakan Candi Pendem oleh masyarakat sekitar. Kemungkinan juga, daerah ini dahulu dilalui oleh sungai purba.
Disini mas Joko sebagai pemandu kami, sedang memberikan sedikit penjelasan kepada anak-anak sanggar sapu lidi tentang persamaan ketiga candi yang kami kunjungi ini.
Setelah melewati jalan yang lumayan melelahkan, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 wib. Saatnya kami beristirahat dan menikmati makan sore kami ditengah lapang dekat sebuah SD. Angin yang semilir, udara dingin, dan pemandangan yang hijau menjadikan suasana semakin nikmat saja.
Setelah perut kenyang, kami mulai berjalan lagi menuju candi terakhir yaitu candi Asu. Hanya menyeberang saja dari tempat kami makan tadi, sampailah kami di Candi Asu. Sedikit memberikan info, Candi Asu ini adalah candi yang berlatarbelakang agama Hindu. Candi Asu berletak di kelurahan Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Adapun beberapa prasasti yang ditemukan adalah: Prasasti Sri Manggala II, Kurambitan I dan II yang berisi tentang Sang Pamgat Hino Sang Apus yang menetapkan dharmanya di Salinsingan.
Sementara itu di prasasti lain, prasasti Salingsingan yang bertuliskan angka tahun 802 Saka atau 880 masehi menyebutkan tentang dharma Sri Maharaja Rakai Kayuwangi kepada Bhatara di Salingsingan.
Kemungkinan ditemukan Candi Asu sekitar abad 18 (catatan Belanda). Dari segi arsitektur, candi Asu ini memiliki kemiripan fungsi pada candi Lumbung. Di dalam candi terdapat bidang kosong yang diduga dulu berisi air. Bidang kosong tersebut diapit oleh Ghana yang diduga belum selesai dikerjakan (mahluk kerdil penopang candi). Pada bagian kaki candi Asu ini terdapat relief motif sulur-suluran untaian mutiara, flora dan burung kakatua yang belum selesai dipahat. Beberapa kajian nama Candi Asu dari folklor sekitar:
- Candi Asu kemungkinan dinamai oleh warga sekitar karena di dekat candi tersebut terdapat arca Sapi (Nandi) yang merupakan wahana Dewa Siwa. Warga sekitar yang kurang memahami arkeologi ketika itu dalam temuannya menganggap arca tersebut lebih mirip bentuk Asu (dalam bahasa Indonesia: anjing).
- Dalam candi Asu, kata asu adalah anjing dalam bahasa Jawa. Kata asu adalah perubahan bahasa dalam kebiasaan pengucapan masyarakat Jawa dari kata aso atau mengaso (mengaso dalam bahasa Indonesia memiliki arti istirahat).
Sore yang dingin sudah mengajak kami untuk menyudahi perjalanan pada sore itu. Kami pulang membawa segudang cerita bermanfaat. Semoga, kami bisa ngebolang lagi bersama-sama dilain kesempatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H